Archive for March 4th, 2010




Cara Cerdas Mengenali Anak Hiperaktif

ANAK hiperaktif atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), pertama kalinya dideskripsikan oleh dokter Heinrich Hoffman pada tahun 1863. Angka kejadiannya cukup membuat cemas orang tua. Hasil riset yang dilakukan oleh Dwidjo Saputro (2009) di DKI Jakarta menyimpulkan bahwa di antara lima anak sekolah dasar didapatkan satu anak yang menderita ADHD.

Penyebab

Multifaktor, yaitu: faktor lingkungan dan psikososial, seperti: riwayat terkena toksin (zat beracun) seperti timah, terpapar rokok, konflik keluarga, hubungan keluarga yang retak atau tidak harmonis.

Sosial ekonomi keluarga yang tidak memadai, jumlah keluarga yang terlalu besar, orang tua terkena kasus kriminal, orang tua dengan gangguan jiwa (psikopat), cara mengasuh-mendidik yang kasar, anak yang diasuh di penitipan anak, rasa kehilangan yang sangat, misal: karena orang tua bercerai atau meninggal dunia, di awal masa anak-anak juga menjadi penyebab.

Faktor makanan: kekurangan asam lemak omega-3; konsumsi makanan dengan zat/bahan pengawet dan pemanis, seperti: natrium benzoat, gula. Faktor biologis dan genetik, seperti: riwayat keracunan kehamilan, perdarahan antepartum (sebelum melahirkan), fetal distress, cedera saat lahir. Ibu hamil yang terpapar rokok, merokok, atau mengkonsumsi alkohol, heroin.

Janin kekurangan oksigen, dan kekurangan asupan seng. Riwayat bayi dengan berat lahir sangat rendah atau prematur, cedera otak. Ada peningkatan kadar monoamine oksidase (MAO) pada trombosit anak dengan gangguan pemusatan perhatian-hiperaktivitas.

Gangguan neurotransmitter, seperti: gangguan sistem central catecholaminergic neurotransmission, perubahan catecholaminergic terutama dopaminergic dan noradrenergic, penurunan homovalinic acid (HVA) cairan serebrospinal, ketidaknormalan fungsi norepinefrin. Anak dengan dopamine transporter (DAT) susceptibility gene rentan menderita ADHD.

Gambaran Klinis

Gejala ADHD merupakan rangkaian kesatuan, yang dapat menetap (setidaknya selama 6 bulan) sepanjang masa anak hingga dewasa, meliputi: gangguan pemusatan perhatian, seperti: terlihat sering bengong atau melamun. Jarang menyelesaikan perintah sampai tuntas, tak dapat berkonsentrasi dalam waktu lama, kalau belajar harus selalu ditunggu, belum dapat menyelesaikan tugas sendiri, pikirannya kacau, mudah bingung, pelupa, perhatian mudah beralih, barang-barang miliknya (seperti mainan) sering hilang, tertinggal atau terlupakan.

Hiperaktivitas, yaitu aktivitas motorik dan vokal yang sangat berlebihan, seperti: banyak bicara (misal: ngobrol dengan teman di dalam kelas, sering nyeletuk), tidak dapat tenang/diam (misal: tidak dapat duduk diam, sering berjalan-jalan di dalam kelas), tidak mengenal lelah, tangan dan kaki selalu bergerak, sulit dikendalikan saat di mall atau sedang berbelanja, kadang tampak gelisah, ribut, atau gaduh.

Perilaku impulsif, yaitu perilakunya kurang terkendali, seperti: berbicara dan bertindak tanpa berpikir akibatnya, suka menginterupsi atau menyela orang lain, sering menjawab terburu-buru sebelum pertanyaan usai ditanyakan, sering usil, tidak sabaran, sering mengambil “jalan pintas” dalam menyelesaikan tugas.

Dapat juga disertai dengan: sikap menentang, seperti: sering melanggar peraturan. Lebih mudah merasa terganggu, mudah tersinggung, mudah marah dibandingkan dengan teman yang seusia. Cemas, misalnya: lebih banyak mengalami rasa khawatir dan takut dibanding teman yang seusia.

Sangat sensitif terhadap kritikan, mengalami kecemasan pada situasi yang baru atau yang tidak dikenal, terlihat sangat pemalu dan menarik diri. Memiliki problem sosial, seperti: hanya memiliki sedikit teman, sering merasa rendah diri dan tidak percaya diri, kemampuan sosialisasi buruk.

Pemeriksaan Penunjang

Penderita tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Untuk deteksi dini di Indonesia, digunakan instrumen Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif (SPPAHI) untuk deteksi ADHD pada anak berusia 6-13 tahun, yang dapat dipakai oleh orang tua, guru, dokter.

Jika fasilitas tersedia, sebelum dan sesudah pemberian terapi, dapat dilakukan pemeriksaan cognitive Event Related Potential (ERP), Matching Familiar Test, dan Continuous Performance Test untuk menilai kemampuan memusatkan perhatian dan tingkat kewaspadaan.

Terapi

Untuk semua penderita ADHD, ditekankan pentingnya diet-nutrisi seimbang, yakni: 4 sehat 5 sempurna, berolahraga dan beribadah secara rutin dan teratur. Diet yang direkomendasikan adalah diet oligoantigenic, yaitu menghindari (bahan) makanan yang berpotensi menyebabkan alergi, seperti: susu dan produk-produknya, tepung terigu, gandum, jagung, ragi, dan kedelai. Hindari juga susu sapi, telur, jeruk.

Secara umum, methylphenidate, atomoxetine, dan dexamfetamine dapat digunakan untuk anak dan remaja penderita ADHD atas indikasi. Atomoxetine dapat digunakan jika methylphenidate tidak manjur, dan sebaiknya dikombinasikan dengan inhibitor CYP2D6, seperti: fluoxetine. Obat stimulan, seperti pemoline, dapat juga digunakan pada anak, remaja, dan orang dewasa penderita ADHD yang tidak berespon terhadap methylphenidate.

Dexamfetamine dapat dipertimbangkan jika anak dan orang muda dengan ADHD tidak berespon terhadap dosis maksimum dari methylphenidate atau atomoxetine.

Untuk orang dewasa penderita ADHD, sebaiknya diberikan terapi yang komprehensif, meliputi: obat yang disertai juga dengan terapi psikologis, terapi perilaku, dan okupasi. Obat tidak direkomendasikan untuk anak ADHD yang belum bersekolah, sehingga terapi pada anak yang belum bersekolah sebaiknya diberikan oleh dokter, terutama psikiater anak dan spesialis anak. Beberapa obat herbal, seperti: Ginkgo biloba, Passiflora, sedang diteliti kemanjurannya untuk mengobati ADHD.

Pencegahan

Berbagai upaya untuk mencegah ADHD antara lain: kedua orang tua jangan merokok. Untuk ibu hamil, hindari: rokok, konsumsi makanan/minuman beralkohol, narkoba, heroin. Ibu hamil hendaknya teratur kontrol, rajin berolahraga dan rutin beribadah, menjaga asupan gizi seimbang, terutama vitamin D.

Menjaga bayi dan anak dari semua makanan-minuman yang mengandung zat tartrazine, bahan pengawet (seperti: sodium benzoate), pemanis (seperti: gula), dan pewarna buatan. Jauhi TV, terutama jika Anda memiliki anak yang berusia kurang dari dua tahun. Untuk semua anak dan remaja, sebaiknya tidak menonton TV lebih dari 3 jam per hari, efektifkan waktu untuk belajar, berdiskusi, menambah pengalaman positif, membaca, menulis, dan beribadah dalam arti luas.

Dengan penatalaksanaan holistik yang didukung oleh semua pihak, maka tentunya permasalahan ADHD akan teratasi dengan baik.(13)

– dokter Dito Anurogo, tinggal di Semarang, peneliti hematopsikiatri, pernah menjadi delegasi Indonesia untuk riset dan training ke Italia dan Hungaria.

Add a comment March 4, 2010

Atomoxetine telah disetujui FDA sebagai terapi maintenance ADHD pada anak dan dewasa

Kalbe.co.id – Atomoxetine, merupakan penghambat neurotransmitter norepinefrin secara selektif ini merupakan yang pertama kali disetujui oleh FDA sebagai preparat non stimulan untuk pasien anak dan dewasa dengan ADHD.

Lebih lanjut menurut Dr. Thomas J. Spencer dari Assosiasi Psikiatri di Fakultas Kedokteran Harvard, di Boston, Massachusetts, mengatakan bahwa ini merupakan pilihan untuk pengobatan yang jangka panjang untuk mengontrol gejalanya serta mempengaruhi pasien. Keamanan dan efikasi dari Atomoxetine dalam memelihara pasien ADHD sudah memperlihatkan hasilnya yaitu pada pemakaian selama 18 bulan sebagai upaya preventif terhadap relaps atau kambuhnya 600 pasien anak-anak dan remaja yang usianya antara 6 – 15 tahun yang memenuhi kriteria DSM-IV untuk ADHD. Disimpulkan bahwa Atomoxetine lebih superior jika dibandingkan dengan plasebo, berdasarkan perhitungan dengan skala ADHD Rating Scale (ADHD-RS). Ditambahkan lagi, dari hasil trialnya bahwa pasien yang mendapatkan Atomoxetine lebih kecil mengalami kekambuhan (2,5%) jika dibandingkan dengan diberikan plasebo (12,2%).

Dengan adanya trial penggunaan jangka panjang, yang sifatnya international dan multisenter dan memberikan hasil yang baik, maka FDA menggunakannya sebagai bagian dari keputusan untuk disetujuinya produk ini. Pada penelitian lainnya, sekitar 604 pasien yang awalnya secara open-label diterapi dengan Atomoxetine, setelah 10 minggu, 69% dari pasiennya diberikan pertanyaan dan kemudian dirandomisasi dan diacak kemudian diberikan Atomoxetine atau plasebo selama 9 bulan.

Pada bulan ke 6 setelah dilakukan randomisasi, mendekati 1 tahun setelah terapi, akhirnya 81 pasien yang diterapi dengan Atomoxetine dan 82 pasien dengan plasebo group. Hasil pada randomisasi pasien menunjukkan bahwa terapi dengan Atomoxetine mempunyai kemaknaan yang berkesinambungan jika dibandingkan dengan plasebo. Untuk anak dan dewasa yang mengalami ADHD mengatakan respons yang baik pada awal diberikan Atomoxetine dan kemudian diberikan kembali selama 1 tahun, 97,5% respon dengan Atomoxetine versus 87,8% pada plasebo (angka kambuhnya : Atomoxetine, 2,5%; plasebo, 12,2%).

Ditambahkan juga angka pasien yang menghentikan terapi setelah 1 tahun sangat rendah jika dibandingkan dengan angka relapsnya pada pasien yang menghentikan terapi pada 6 bulan selama fase penelitian secara open label, dimana pada kelompok Atomoxetine 61/292 [20,9%]; plasebo, 46/124 [37,1%]).

Secara umum Atomoxetine dapat ditoleransi oleh pasien dan efek samping yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah sakit kepala dan nasofaringitis. Dari hasil penelitian terhadap dosis secara final adalah sekitar 1,54 mg/kgBB/hari setelah 12 bulan dan 18 bulan terapi.

Add a comment March 4, 2010

ANAK ADHD BERSEKOLAH

SEKILAS, Andro bisa dikatakan sebagai anak hiperaktif atau mengalami attention deficit hyperactivity disorder, atau sering disebut sebagaI ADHD. Yaitu, ketidakmampuan memusatkan perhatian pada kejadian utama yang terjadi di lingkungannya. Anak-anak semacam Andro mudah sekali terganggu oleh rangsangan – bahkan yang sangat sederhana seperti pintu terbuka, kertas yang terjatuh dan lain sebagainya – yang ada di sekitarnya. Selain itu, sering melakukan gerakan yang berlebihan, tidak terarah sehingga sulit mengorganisasikan dirinya. Mereka cenderung impulsif, tidak pernah memikirkan akibat dari ulahnya. Mereka terlihat kurang matang dalam mengenali aturan-aturan sosial yang berlaku.

Apa pun kondisinya anak-anak semacam Andro harus memasuki gerbang sekolah untuk belajar. Sekali lagi harus belajar. Tak ada pilihan lain!

Belajar, merupakan suatu proses yang ditentukan oleh beberapa hal, di antaranya adalah perhatian dan konsentrasi. Bagi anak semacam Andro (ADHD) belajar merupakan proses yang sulit karena mereka tidak memahami bagaimana cara belajar. Kurangnya kemampuan berkonsentrasi membuat segala instruksi dari guru di kelas yang sifatnya kompleks dan terdiri dari beberapa langkah merupakan kesulitan tersendiri untuk dilaksanakan. Barangkali, hal ini terjadi karena mereka hanya mampu menangkap sebagian instruksi tersebut (tidak lengkap).

Untuk membantu mereka, “ bagaimana cara belajar” menjadi hal yang sangat penting. Dari mana sebaiknya harus memulai untuk menyelesaikan tugas, bagaimana mengarahkan perhatiannnya agar tidak mudah terpecah dan bagaiamana bila keduanya dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Dalam membantu anak ADHD belajar, ada beberapa pendekatan yang bias dilakukan. Masing-masing dapat saling berkaitan untuk mendorong perilaku yang positif.

– Memberikan Struktur

Yaitu, memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan saat akan memulai berikut segala konsekuensinya.

– Analisis Tugas

Yaitu, memecah tugas besar menjadi komponen-komponen yang memisahkan langkah-langkah yang diperlukan. Misalnya, menyusun dari yang paling kompleks dalam urutan yang masuk akal (logis).

– Modifikasi Perilaku

Yaitu, membentuk perilaku yang diinginkan dengan memberikan reward maupun punishment.

Peran Orangtua

Dalam menerapkan pendekatan-pendekatan di atas, peran orangtua di rumah sangatlah penting. Tak boleh dianggap remeh. Selain itu, harus ada kerjasama yang baik antara orangtua dan pihak sekolah di mana anaknya belajar.

– Sebaiknya ada kerjasama untuk bisa menentukan kesepakatan-kesepakatan mengenai hal-hal yang diharapkan dan harus dilakukan anak. Buatlaj jadual kegiatan sehari-hari. “Hari ini kita akan ke sekolah, pulang sekolah ke tempat terapi, setelah itu pulang ke rumah.” Biasakan anak untuk menempatkan barang-barang miliknya di suatu tempat yang telah ditentukan. Minimalisasikan pilihan; “Kamu mau belajar matematika atau bahasa Indonesia?” dari pada “Kamu belajar apa?”

– Mengarahkan anak dalam menyelesaikan tugas yang kompleks. Misalnya, untuk mengajari menulis, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah cara memegang pensil dengan benar. Bila tangannya belum kuat, sebaiknya dilakukan latihan penguatan otot tangan (misalnya dengan play doh busa sabun dan lain-lain).

– Pada modifikasi perilaku, orangtua harus menentukan prioritas perilaku spesifik yang akan diubah. Misalnya, membereskan buku setelah belajar. Kemudian buatlah kesepakatan bila anak telah melaksanakan (membereskan buku-bukunya) dengan baik, akan memperoleh reward. Bila sebaliknya juga harus menerima punishment. Agar berhasil, sebaiknya orangtua membantu mengarahkan anak secara terstruktur tentang bagaimana mencapai perilaku yang diharapkan. Misalnya, dalam membereskan buku sebaiknya satu persatu, baru kemudian dimasukkan ke dalam tas dan lain sebagainya.

Peran Guru

Guru dapat melakukan cara yang sama seperti halnya yang dilakukan orangtua di rumah. Namun, sebaiknya disesuaikan dengan konteks bersekolah. Berikut beberapa hal yang bias dan sebaiknya dilakukan guru dalam penerapan pendekatan yang telah disebut di atas.

– Membuat perencanaan belajar. Misalnya menuliskan jadual kegiatan harian di papan tulis secara tersusun dari atas ke bawah. “Hari ini kita akan belajar perkalian, mengamati tumbuh-tumbuhan, mencatat PR dan istirahat!” Berikan peringatan atau pemberitahuan bila akan terjadi perubahan jadual. Mendudukkan siswa dekat dengan guru dapat dilakukan untuk meminimalisasi gangguan dari siswa lain dan guru pun akan mudah mengontrol. Bila diperlukan, terutama pada saat kondisi kelas benar-benar terganggu, siswa dapat dievakuasi ke tempat khusus (ke perpustakaan misalnya).

– Menjaga perhatian anak, yaitu dengan memberikan tanda-tanda yang dapat mengingatkan siswa dan mengarahkannya kembali pada tugasnya. Hal tersebut bias dilakukan dengan menyentuh punda, mengetuk pensil ke meja (saat anak mulai melamun atau terganggu perhatiannya). Berikan instruksi yang singkat dan usahakan ada kontak mata saat instruksi diberikan. Modifikasikan tugas atau instruksi. Misalnya, dengan memberi warna atau garis bawah pada instruksi yang penting adan utama.

– Berikan kesempatan pada anak untuk beristirahat setelah menyelesaikan tugasnya. Misalnya dengan memberikan tugas mengambil buku di kantor, membagikan buku ke teman-temannya atau menyampaikan pesan ke guru lain.

– Bantu anak untuk mendengarkan. Yaitu, dengan cara; Usahakan agar instruksi atau penjelasan diberikan dengan suara yang jelas, keras dan tidak tergesa-gesa. Gunakanlah alat Bantu atau alat peraga seperti gambar saat menjelaskan sehingga anak akan tertarik. Saat menjelaskan sesekali berikan pertanyaan dan libatkan anak dalam diskusi.

– Terapkan displin dengan membuat “kontrak” perilaku berikut konsekuensinya.

Beberapa hal dapat dilakukan oleh orangtua maupun duru dalam mempersiapkan

anak ADHD untuk memasuki gerbang sekolah. Belajar memang tidak mudah, namun bila diterapkan dengan kesabaran, sikap positif dan ikhlas hasilnya Insya Allah akan tidak mengecewakan. Anak akan merasa nyaman dan berkembang dengan konsep diri yang positif. Reward terhadap setiap keberhasilan akan membuat anak menjadi termotivasi, anak akan berusaha lebih keras untuk mengarahkan dirinya kea rah yang lebih baik lagi.

Yang tidak kalah pentingnya dari semua itu adalah kerjasama dan komunikasi yang baik antara orangtua dan guru dengan satu tujuan demi kebaikan perkembangan anak. Masing-masing memerlukan keterbukaan yang positif dan kesabaran.

Perlu difahami pula bahwa anak ADHD adalah individu yang unik, karena itu ada beberapa di antara mereka memang harus bersekolah di sekolah khusus.

Melalui pendidikan di sekolah khusus (biasanya guru-gurunya lebih memahami kondisinya), kesulitan belajarnya bias diminimalisasi dengan mengarahkan pada strategi belajar yang sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya. (arf)

Add a comment March 4, 2010

Mungkinkah anak Anda menderita ADHD?

Si kecil ADHD?

Biasanya, anak usia tiga, empat, atau lima tahun senang ke sana-sini, gampang teralihkan perhatian, serta cenderung tantrum alias cepat ngambek. Namun, bila si kecil selalu menangis setiap kali Anda ‘mencoba’ meninggalkan rumah, sering membuat masalah ketika bermain dengan anak lain, serta bikin onar di sekolah, Anda mungkin akan bertanya-tanya, apakah semua itu merupakan gejala awal ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).

Diagnosa
“Pada kebanyakan anak di bawah usia enam tahun, ADHD agak sulit didiagnosa,” kata James Perrin, M.D., ketua komite ADHD di American Academy of Pediatrics. Namun, ia menambahkan, kabar baiknya adalah anak Anda belum tentu membutuhkan diagnosa itu. Anda masih bisa kok, mengasah keterampilan yang berhubungan dengan perilaku yang bermanfaat bagi semua anak. Anak prasekolah perlu dibentuk, mampu mengantisipasi, membagi tugas dalam langkah-langkah yang mudah, serta mendapat hadiah untuk kesuksesan kecil. Namun, beberapa anak membutuhkan hal ini lebih dari anak lain.

Rutinitas sederhana
Isyarat secara visual amat menolong. Misalnya, bila salah satu anak Anda selalu menempati tempat duduk saudaranya saat nonton TV, letakkan dua buah handuk sehingga jelas posisi duduk masing-masing. Atau jika anak punya masalah memfokuskan perhatian ketika berpakaian di pagi hari, tugas ini dipecah menjadi langkah-langkah yang lebih sederhana (“Pertama, pakai celana pendek kamu. Sekarang, baru pakai kausnya.”) serta ilustrasikan semua ini dengan bagan di dekat tempat tidur si kecil. Beri hadiah begitu ia melakukannya dengan benar. Bersabarlah; bisa jadi butuh waktu sampai berminggu-minggu sebelum Anda melihat ada kemajuan. “Tapi bila pada akhirnya ia bisa mengenakan sendiri pakaiannya, ini berarti Anda punya rencana yang bisa dijalankan anak Anda,” kata Sharon Weiss, konsultan perilaku dan penulis From Chaos to Calm: Effective Parenting for Challenging Children with ADHD and Other Behavioral Problems.

Bantuan luar
Jika Anda sudah mencoba pendekatan tersebut dan anak Anda masih saja punya masalah dalam melakukan berbagai hal, bicarakan dengan dokter anak Anda, yang mungkin akan merujuknya ke pakar kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater anak, atau dokter anak yang juga pakar perkembangan perilaku. Para pakar ini bisa mendiagnosa kasus-kasus langka ADHD yang bisa diderita anak di usia ini – atau membantu menguak keterlambatan perkembangan, bila ada. “Ia mungkin saja bilang, Anda punya anak umur empat tahun yang sangat unik,” kata dr. Perrin. “Tapi paling bagus sih, ya diperiksa lebih lanjut.”

Add a comment March 4, 2010

Manfaat suplementasi PUFA pada anak dengan ADHD

Manfaat suplementasi PUFA pada anak dengan ADHDKalbe.co.id – Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) merupakan kondisi neurologis yang sering ditemukan pada anak-anak. Dan beberapa uji klinik telah menilai dampak asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) omega-3 pada pasien dengan kelainan ADHD.

Saat ini studi terbaru mengenai hal tersebut juga telah dilakukan. Studi tersebut menentukan komposisi asam lemak, dan efikasi serta keamanan suplementasi PUFA omega-3 pada 37 anak-anak sekolah dengan gejala klinis ADHD.

Studi tersebut merupakan studi silang, acak, dan buta ganda yang dilakukan selama 16 minggu. Untuk menilai perubahan pada gejala ADHD digunakan The Strengths and Weaknesses in ADHD and Normal Behaviors (SWAN) dan kuesioner Conner. Pasien diacak menjadi 2 kelompok di mana pada fase pertama kelompok A mendapat suplemen PUFA omega-3 dan kelompok B mendapat suplemen PUFA omega-6 sebagai plasebo. Selama fase kedua, kelompok B mendapat suplemen PUFA omega-3 yang tetap dilanjutkan pada kelompok A.

Hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan asam lemak di antara kedua kelompok ditemukan pada semua pasien yang mengikuti studi dari awal hingga akhir. Suplementasi PUFA omega-3 menyebabkan peningkatan secara bermakna EPA (eicosapentaenoic acid) dan dan DHA (docosahexaenoic acid) pada kelompok A, sedangkan kelompok B juga diperkaya dengan alfa-linolic, gamma-linoleic dan homogamma-linoleic acid. Suplementasi PUFA omega-3 dapat ditoleransi tanpa efek samping.

Perbaikan gejala yang bermakna secara statistik ditemukan pada kuesioner Conner versi orang tua dari basal hingga akhir fase 1-2, meskipun perubahan dari fase 1 ke fase 2 secara statistik tidak berbeda bermakna, kecuali pada subskala pengukuran ketidakperhatian (inatensi) pada kelompok B. Perbaikan lebih besar pada pasien kelompok A pada fase 1 dan pasien dari kelompok B pada fase 2. Terdapat perbaikan yang bermakna secara statistik setelah pemberian suplemen PUFA omega-3, khususnya pada ketidakperhatian dan Global Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth edition, total Conners’ subscales.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dengan ADHD yang menggunakan suplemen PUFA omega-3 dapat mencapai dan mempertahankan kontrol gejala. Data studi ini juga mendukung keamanan dan tolerabilitas PUFA omega-3, tetapi perubahan profil asam lemak dalam studi ini terbatas.

Sebelumnya suatu studi pendahuluan juga telah dilakukan untuk menilai efek suplementasi PUFA pada komposisi asam lemak dan perilaku anak dengan gejala ADHD yang juga melaporkan masalah kulit.

Studi dilakukan pada 50 anak yang secara acak mendapat suplemen PUFA yang memberikan dosis harian DHA 480 mg, EPA 80 mg, AA 40 mg, GLA 96 mg dan alfa-tocopheryl acetate 24 mg, atau plasebo minyak zaitun selama 4 bulan terapi paralel buta ganda.

Suplementasi PUFA menyebabkan peningkatan proporsi EPA, DHA, dan alfa-tocopheryl acetate dalam fosfolipid plasma dan lemak total sel darah merah, tetapi peningkatan omega-3 juga terjadi pada kelompok plasebo.

Untuk kebanyakan outcome, perbaikan pada kelompok PUFA secara konsisten lebih baik dibanding kelompok minyak zaitun. Suplementasi PUFA menyebabkan lebih banyak peserta yang menunjukkan perbaikan perilaku menentang/melawan dibanding kelompok minyak zaitun. Juga terdapat korelasi yang bermakna antara peningkatan proporsi EPA dalam sel darah merah dan penurunan perilaku distruktif yang dinilai dengan the Abbreviated Symptom Questionnaire (ASQ) for parents dan peningkatan EPA dan DHA dalam sel darah merah dengan the teachers’ Disruptive Behavior Disorders (DBD) Rating Scale for Attention. Menariknya, juga terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi alfa-tocopherol dalam sel darah merah dengan penurunan skor dari 4 subskala the teachers’ DBD.

Add a comment March 4, 2010

Deteksi Dini Autisme dengan Film Kartun

Batita normal akan memberikan respon terhadap gerakan tokoh kartun.

VIVAnews – Autisme pada anak bisa diatasi lebih efektif jika diketahui sejak dini gejalanya. Banyak orang tua terlambat menyadari buah hatinya mengalami autisme karena tak tahu gejalanya.

Menurut penelitian terbaru, autisme bisa didiagnosis lebih dini dengan melihat bagaimana respon batita saat menonton serial kartun atau animasi. Batita akan sangat senang dan memfokuskan perhatian ketika melihat gerakan.

Dalam serial kartun terdapat banyak gerakan dan biasanya batita senang untuk melihatnya. Tetapi bagi batita autisme, mereka akan mengacuhkan gerakan dalam serial kartun tersebut.
Penelitian tersebut dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Yale, Inggris. Kesimpulan tersebut didapatkan setelah mengadakan penelitian pada seorang anak berusia dua tahun. Ia di diagnosa terkena autisme melalui gerakan dan suara yang berasal dari serial kartun.

Para peneliti mengungkapkan, tes dengan kartun yang dilakukan pada anak tersebut, bisa dilakukan pada anak lain dan dapat mengidentifikasi gejala autis lebih dini. Karena anak-anak yang berusia delapan bulan sebenarnya sudah bisa mengenali gerakan dan gambar. Dan, dengan cara memperlihatkan kartun animasi, autisme dapat diidentifikasi.

Identifikasi autisme dengan serial kartun atau animasi ini dilakukan di Inggris dan melibatkan 55 batita. Hasilnya adalah 21 batita mengalami autistic-spectrum disorders (ASD), 39 batita normal dan 16 batita memiliki masalah perkembangan tetapi bukan autisme.

Batita normal dan yang memiliki masalah perkembangan, menyukai dan fokus melihat animasi yang diperlihatkan. Tetapi, batita dengan ASD tidak fokus pada animasi yang diperlihatkan pada dua layar berbeda.

“Batita dengan ASD dapat diketahui secara dini. Dengan begitu dapat diberikan terapi dengan lebih cepat dan tepat,” kata Dr Ami Klin, dari the Yale Child Study Center.

Add a comment March 4, 2010

Autisme, Bisa Disembuhkan

FAKTOR GENETIK dianggap sebagai satu-satunya penyebab autisme sehingga penderitanya dianggap tidak bisa disembuhkan namun bukti-bukti yang sekarang muncul menunjukkan ada peluang untuk penyembuhan karena gangguan itu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik melainkan juga dipengaruhi faktor lingkungan.

Pada peringatan Hari Peduli Autisme Sedunia di Jakarta, Rabu (2/4), dr. Melly Budiman SpKJ dari Yayasan Autisma Indonesia mengatakan hal itu juga menunjukkan adanya peluang penyembuhan dan perbaikan kondisi bagi penyandang autisme.

“Autisme memengaruhi otak dan tubuh. Jika gangguan pada tubuh dapat disembuhkan maka itu akan membantu memperbaiki otak pula,” katanya dan menambahkan bahwa hal itu didukung pula oleh fakta tentang banyaknya anak autistik yang “menyembuh”.

Lebih lanjut dia menjelaskan, anak dengan gangguan spektrum autistik (Autistic Spectrum Disorder/ASD) biasanya mengalami gangguan pada saluran pencernaan, sistem kekebalan tubuh, susunan syaraf pusat dan proses detoksifikasi.

Mereka, ia melanjutkan, juga alergi terhadap banyak jenis makanan, keracunan logam berat (Hg,Pb,As,Cd) dan kondisi biokimiawi tubuhnya terganggu. “Bila semua gangguan di tubuhnya dapat disembuhkan, maka otaknya akan bisa lebih berfungsi dengan baik,” katanya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa yang terpenting dalam hal ini adalah mendeteksi dan mendapat diagnosa gangguan tersebut sedini mungkin.

Semakin awal seorang anak terdiagnosa dan mendapat terapi yang tepat, menurut dia, semakin besar kesempatannya untuk kembali ke jalur perkembangan yang normal. Penatalaksanaan komprehensif bagi penyandang autisme, katanya, meliputi perbaikan tubuh dari dalam (penatalaksanaan biomedis), medikamentosa (obat) bila diperlukan dan tatalaksana non-medis seperti terapi perilaku, wicara, okupasi, integrasi sensoris dan yang lainnya.

“Tak ada satu jenis obatpun yang bisa menyembuhkan autisme,” tambahnya. Ia menjelaskan pula bahwa keberhasilan penyembuhan atau perbaikan gangguan autisme tergantung pada banyak faktor seperti berat atau ringannya gangguan pada otak, berat atau ringannya gangguan pada tubuh, kecepatan anak terdiagnosa serta penanganan dini, tepat, terpadu dan intensif.

“Banyak anak mengalami perkembangan yang luar biasa, namun banyak pula yang tidak berkembang dengan baik,” katanya. Ia menjelaskan pula bahwa dalam hal ini orang tua penyandang autisme membutuh dukungan dari dokter, terapis dan terutama masyarakat supaya bisa tegar menghadapi keadaan anaknya dan tidak berputus asa.

“Karena itu kami mengimbau masyarakat untuk lebih memahami apa itu autisme, dan tidak mengolok-olok atau melecehkan individu autistik, tetapi lebih bersikap toleran dan membantu, untuk bersikap empatik terhadap orang tua anak penyandang autisme dan mengerti kesulitan yang mereka hadapi,” katanya.

Pengelola sekolah, kata dia, hendaknya juga memberi kesempatan pendidikan kepada anak penyandang autisme yang memang layak dan mampu. “Dan pemerintah tentunya harus memberi jaminan dalam bidang kesehatan, pendidikan dan terapi yang terjangkau oleh semua golongan masyarakat,” demikian dr. Melly.

Add a comment March 4, 2010

Vaksin MMR Bukan Penyebab Autisme

KEKHAWATIRAN para orangtua akan isu vaksin yang dapat menyebabkan austisme tampaknya akan semakin pudar. Sebuah riset di Amerika Serikat (AS) membuktikan, tidak hubungan sama sekali antara autisme dengan pemberian vaksin MMR (measles, mumps, rubella).

Riset yang telah dipubliskasi Rabu kemarin dalam jurnalPublic Library of Science edisi online ini adalah penelitian yang mematahkan riset sebelumnya oleh Dr Andrew Wakefield dari Royal Free Hospital, Inggris. Dalam risetnya yang kemudian ditarik dari jurnal Lancet, Wakefield mengindikasikan adanya kaitan antara vaksin MMR dan autisme.

Para ahli dari Columbia University New York dan Centers for Disease Control (CDC) membantah indikasi riset Wakefield setelah meneliti sinyal-sinyal penanda genetika dari virusmeasles (campak) pada sampel jaringan usus 25 anak pengidap autisme yang juga menderita gangguan pencernaan.

Mereka membandingkan sampel tersebut dengan 13 anak lainnya yang bukan autis, tapi mengidap gangguan pencernaan. Jaringan ini lalu dianalisa di tiga laboratorium berbeda dengan sistem pemeriksaan acak.

Menurut peneliti, hasil riset ini telah menyediakan bukti kuat yang mematahkan dugaan adanya hubungan autisme dengan virus campak pada saluran pencernaan ataupun paparan MMR. “Kami tak menemukan hubungan antara masa pemberian vaksin MMR dan kejadian penyakit gastrointestinal ataupun autisme,” ungkap pimpinan riset, Dr Mady Hornig.

Di AS sendiri, klaim pengadilan federal telah mempertimbang komplain para orangtua dalam setahun terakhir. CDC mengatakan, kekhawatiran orangtua akan risiko vaksin membuat mereka enggan memberikan vaksin MMR kepada anak sehingga memicu peningkatan kasus campak di AS dan Eropa.

Penyakit campak menyebabkan kematian pada sekurangnya 250.000 orang per tahun, dan korban sebagian besar adalah anak-anak di negara berkembang. Berdasarkan data CDC, satu dari 150 anak di Amerika mengidap autisme.

Add a comment March 4, 2010

Potensi Individu Autistik Bisa Dikembangkan Optimal

Individu autistik selama ini dianggap sebagai abnormal, kondisi yang buruk dan harus dihilangkan, sehingga dalam penanganannya cenderung keliru. Makanya, tak mengherankan, usaha-usaha untuk memahami spektrum autistik selalu menyisakan tanda tanya dan misteri. Padahal, kalau dipahami dengan perspektif yang berbeda, seperti dengan presumption of competence, maka potensi kreatif individu austistik bisa dikembangkan secara mengagumkan.
Demikian pemikiran yang mengemuka dalam orasi ilmiah psikolog Dr Adriana S Ginanjar MS, pada Dias Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Selasa (3/3) di kampus UI, Depok. Tesis pemikiran itu berdasarkan pengalaman panjang Adriana yang memiliki anak autistik dan mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak autistik.

“Anak autistik mesti dipandang sebagai sebuah perbedaan dan bukan sebagai abnormal. Penanganannya harus lebih difokuskan untuk mengenali dan mengembangkan potensi mereka. Karena, walaupun memiliki sejumlah kekurangan, masing-masing anak autistik memiliki potensi-potensi kreatif. Kemampuan yang menonjol pada bidang tertentu. Di samping itu, interaksi dan proses belajar-mengajar perlu didasari oleh penerimaan dan empati, agar terjalin hubungan yang dilandasi rasa percaya, rasa aman, dan penghargaan tanpa syarat, yang amat penting dalam membantu perkembangan emosi dan interaksi sosial mereka,” katanya.

Menurut Adriana, selama ini penanganan anak-anak autistik mengikuti perkembangan penanganan di negara-negara barat. Memang, pemberian penanganan secara terpadu, intensif, dan dimulai sejak usia dini memberikan hasil yang positif, yaitu membantu anak-anak autistik untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan belajar berbagai kemampuan kognitif.

Sayangnya, sebagian besar penanganannya lebih menekankan pada kekurangan atau defisit dan berusaha mengarahkan mereka menjadi seperti anak-anak normal.

Ada dua kelemahan yang ditemukan Adriana dalam penanganan yang mengarahkan anak-anak autistik menjadi seperti anak-anak normal, yaitu, pertama, kriteria anak normal merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan.

Bahkan, sampai saat ini belum ada titik temu dari berbagai pandangan tentang tingkah laku normal dan abnormal. Defenisi normal amat terikat pada konteks budaya, konteks sosial, dan dimensi waktu, sehingga tidak dapat digeneralisasi begitu saja. Kedua, pemberian label abnormal berdampak negatif pada perkembangan psikologis mereka.

Pandangan tentang austime sebagai abnormalitas ditolak keras oleh para individu autistik. Mereka merasa sangat tidak nyaman bila dipandang sebagai individu yang tidak normal, serta hanya dinilai berdasarkan defisit yang dimiliki. “Mereka juga tidak menginginkan diri mereka diubah menjadi individu normal,” paparnya.

Psikolog Adriana berpendapat, kompleksitas autisme yang terungkap melalui serangkaian penelitian disertasi yang ia lakukan, menunjukkan bahwa untuk dapat memahami individu autustik dibutuhkan kerangka berpikir holistik, yaitu yang memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf sensorik, kognitif, emosi, interaksi sosial, serta agama dan spiritualitas.

Belajar dari kisah sukses individu autistik, demikian Adriana, cara terbaik memahami mereka adalah dengan berusaha mengenali mereka tanpa predisposisi tertentu, apalagi membandingkan mereka d engan individu normal. “Kita harus menggunakan perspektif holistik dan positif, yaitu memandang mereka sebagai individu yang utuh dan memiliki potensi-potensi kreatif,” tandas.

Add a comment March 4, 2010

Waspada Bila Si Kecil Sering Memutar Mainan!

JIKA Anda mempunyai bayi atau batita yang memainkan benda secara tidak lazim seperti memutarnya secara berulang-ulang sebaiknya waspada. Jangan-jangan, anak Anda berpotensi mengidap autisme.

Ilmuwan AS dalam sebuah laporan yang dimuat jurnalAutism, Jumat (7/11) menyebutkan, bayi-bayi yang kemudian didiagnosa mengidap autisme memperlihatkan cara bermain atau eksplorasi yang tidak lazim yakni memutar mainan dengan sangat sering dibanding bayi lainnya.

Temuan ini, kata peneliti, diharapkan dapat membantu para dokter dan orang tua dalam mengenali dan mengidentifikasi anak-anaknya dari risiko autisme dan mengatasinya sedini mungkin..

Seperti diungkapkan Sally Ozonoff dan timnya dari University of California Davis, selain sering memutar benda-benda secara berulang, bayi yang di kemudian hari mengidap autisme, matanya selalu terbelalak, menatap jelas pada benda-benda sederhana seperti botol minum dan mencarinya dengan jelalatan.

“Ada kebutuhan yang mendesak untuk menciptakan suatu ukuran yang dapat mengenali gejala-gejala awal autisme, tanda-tanda yang hadir sebelum usia 24 bulan ,” ungkap Ozonoff.

The American Academy of Pediatrics sendiri merekomendasikan seluruh bayi untuk diperiksa kemungkinan mengidap autisme sebelum usia dua tahun. Sedangkan kebanyakan dokter anak biasanya memeriksanya dengan gejala sosial klasik dan cara komunikasi.

“Temuan bahwa penggunaan mainan di luar kebiasaan juga hadir pada awal kehidupan berarti bahwa perilaku ini dapat dengan mudah ditambahkan dalam daftar yang harus diwaspadai orang tua atau dengan cepat diperiksakan saat mengunjungi dokter anak, ” tambah Ozonoff.

“Semakin dini pengobatan autisme seorang anak, semakin kecil dampak buruk yang akan terjadi dengan masa depan anak,” ujarnya

Dalam risetnya, Ozonoff dan timnya meneliti 66 anak berusia 1 tahun yang dipertimbangkan berisiko tinggi mengidap autisme. Anak-anak ini sebagian besar mempunyai saudara kandung yang mengidiap autisme. Selama riset, ada sembilan anak yang didiagnosa mengidap autisme,dan tujuh di antaranya secara signifikan selalu menunjukkan perilaku memutar benda dan menujukkan eksplorasi visual yang tidak lazim di bandingkan anak lainnya.

Add a comment March 4, 2010

Pages

Categories

Links

Meta

Calendar

March 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Posts by Month

Posts by Category