Archive for March 24th, 2010




Psikotes Bagi Anak Autis

Sumber : Buletin Berita Mandiga, No. 3 / September 2002

Pada anak autis, menjalani prosedur psikotes standar yang biasanya dilakukan biro-biro konsultasi psikologi umumnya sulit dilakukan. Anak autis sulit memusatkan konsentrasi, memahami instruksi tes, mempergunakan waktu tes secara efisien dan berperilaku ‘pas’ pada saat proses pelaksanaan tes. Padahal sering sekolah tertentu mempersyaratkan kasil Psikotes anak, atau mungkin orang tua ingin mengetahui kapasitas intelegensi yang dimiliki anaknya. Untuk mengetahui masalah tersebut, kami akan bahas lebih jauh seputar topik tersebut.

Secara umum intelegensi didefinisikan sebagai : Kapasitas seseorang untuk bertindak secara terencana, berfikir rasional dan berhubungan secara efektif dengan lingkungannya.

Intelegensi diukur dengan alat bantu psikotes dengan hasil akhir satuan yang populer disebut IQ (Inteligence Quotient). Komposisi IQ terdiri dari beberapa aspek yang dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu :

* IQ Verbal
* IQ Non Verbal

Tes yang secara komprehensif mengukur IQ anak dan umumnya digunakan di Indonesia adalah :

* Wechsler Inteligence Scale for Childern (WISC) atau
* Wechsler Preschool & Primary Scales of Inteligence (WPPSI)

Bagi anak autis yang umumnya mengalami gangguan dalam perkembangan bahasa, sudah pasti hasil IQ verbalnya rendah. Sangatlah tidak adil bila mereka secara dini kemudian divonis keterbelakangan mental / mentally reterded.

Kendala lainnya, psikotes pada umumnya menuntut anak mengerjakan soal dalam waktu yang terbatas (time limit). Padahal seperti kita ketahui bersama, anak autis sangat sulit untuk memusatkan konsentrasi, sehingga perlu waktu lebih untuk mengarahkan perhatiannya.

Jadi bila inteligensi anak autis diukur dengan menggunakan tes ini, hasilnya sudah dapat dipastikan tidak mencerminkan potensi anak yang sesungguhnya. Lalu bagaimana cara pemecahannya? Pilihlah tes yang mengukur aspek-aspek kecerdasan secara terpisah, dimana salah satu tes yang tepat adalah pengukuran inteligensi non Verbal.

Pengertian Inteligensi Non Verbal : Sesuai dengan kata ‘non verbal’ berarti tidak dipengaruhi ‘bahasa’

Adapun definisi Inteligensi non verbal adalah sebagai berikut :

Kemampuan yang tidak berhubungan dengan bahasa, yang meningkatkan kapasitas seseorang untuk berfungsi secara terencana, efektif dan rasional.

Individu dengan Inteligensi Non Verbal tinggi biasanya berhasil di bidang matematika, geometri, engineering, mekanika, seni dan musik.

Inteligensi non verbal dibedakan atas 2 strata kemampuan, yaitu :

* LOW ORDER SKILLS

Keterampilan yang berhubungan dengan proses menginterpretasi, mengorganisir dan memanipulasi ciri-ciri non simbolik dan konkrit dari stimulus (seperti misalnya ukuran, warna, bentuk, tekstur).

* HIGH ORDER SKILLS

Lebih bersifat pemecahan masalah, penalaran, bersifat abstrak.

Untuk mengukur Inteligensi non verbal digunakan psikotes khusus non verbal. Untuk meminimalkan peran dari bahasa, tes ini dirancang sedemikian rupa sehingga soal dibuat tanpa menggunakan ‘kata’, melainkan dalam bentuk ‘presentasi visual/gambar’. Instruksi test maupun respon yang diminta juga non verbal (isyarat, manipulasi benda, menggambar, menunjuk jawaban).

Kemampuan yang dapat diukur dengan Test Inteligensi Non Verbal, antara lain :

* Discrimination

Diukur dengan meminta anak menetapkan gambar / kata yang berbeda, misalnya mana yang berbeda gajah – kuda – monyet – truk.

* Generalisasi

Menemukan kata yang memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu dengan stimulus, misalnya : mana yang serupa dengan pohon : mobil – manusia – berjalan.

* Motor behavior

Berkaitan dengan gerakan, baik motorik halus atau motorik kasar, misalnya : manipulasi blok, copy design.

* Berfikir induksi

Menemukan aturan / pola pada stimulus, misalnya mengapa benda tertentu dapat ditarik magnet?

* Comprehension

Pemahaman yang melibatkan kaidah umum.

* Sequencing

Kemampuan melihat hubungan yang progresif dari serangkaian stimulus.

* Detail recognition

Kemampuan melihat detail stimulus, biasanya dengan melihat atau membuat gambar.

* Analogi

Berkaitan dengan diskriminasi, generalisasi, pengetahuan umum dan kosakata.

* Abstract Reasoning

Kemampuan memecahkan masalah yang menuntut kemampuan induksi dan abstraksi.

* Memory

Kemampuan mengingat / daya ingat.

* Pattern Completing

Mengidentifikasi bagian yang hilang dari gambar, pola, matriks.

* General Information

Kemampuan dasar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan faktual.

* Vocabulary

Arti dari kata.
CTONI (Comprehensive Test of Nonverbal Intelligence)

Tes ini terdiri dari 6 subtest yang berbeda tetapi saling berhubungan dalam mengukur kemampuan inteligensi non verbal. Secara empiris test ini telah teruji reabilitas maupun validitasnya (sampel yang digunakan 2901 orang dari 30 negara bagian) dan dirancang untuk anak usia 6 tahun sampai dewasa.

CTONI merupakan tes non verbal yang mengukur High Order Cognitive Ability :

* Problem solving
* Reasoning
* Abstract thinking

Kemampuan yang diukur adalah :

* Penalaran logis
* Klasifikasi kategori dan
* Panalaran urutan

Adapun presentasi soal berupa :

* Gambar benda yang familiar dalam kehidupan sehari-hari
* Gambar desain geometris

Hasil akhir dari tes ini berupa indeks

* Inteligensi non verbal (keseluruhan)
* Inteligensi non verbal gambar
* Inteligensi non verbal geometris

Hasil akhir dari NIQ digolongkan sebagai berikut :

* 131 – 165 Sangat superior
* 121 – 130 Superior
* 111 – 120 Di atas rata-rata
* 90 – 110 Rata-rata
* 80 – 89 Di bawah rata-rata
* 70 – 79 Rendah
* 35 – 69 Sangat rendah

NIQ tinggi berarti individu memiliki kemampuan yang baik dalam :

* Melihat hubungan perceptual, logis dan abstrak
* Penalaran tanpa kata-kata
* Memecahkan teka-teki mental yang melibatkan elemen progresif
* Membentuk asosiasi yang berarti antar obyek dan antar disain geometris.

NIQ rendah berarti kesulitan dalam :

* Menangani informasi non verbal
* Menerima data visual
* Mengorganisir materi-materi yang melibatkan ruang / spasial.
* Memahami aspek abstrak dari simbol-simbol visual.

PNIQ (pictorial NIQ) adalah indeks dari pemecahan masalah dan penalaran dimana gambar-gambar obyek yang dikenal digunakan dalam tes. Karena gambar-gambar tersebut memiliki naka, maka kemungkinan individu akan menggunakan kata-kata (berbicara/berpikir dalam bentuk kata-kata) ketika melaksanakan tes. Jadi ada pengaruh dari kemampuan verbal individu.

GNIQ (Geometric NIQ) adalah indeks dari pemecahan masalah dan penalaran dimana desain-desain yang tidak dikenal digunakan dalam tes. Karena itu merupakan kemampuan non verbal yang murni. Pada umumnya PNIQ dan GNIQ berada di taraf yang sama, kemungkinan disebabkan oleh aspek kemampuan bahasa (PNIQ > GNIQ).

Penutup :

CTONI dapat menjadi alternative bagi orang tua untuk mengevaluasi kecerdasan anaknya.

Sebagai alat tes non verbal kelebihan CTONI adalah :

* Non Language Tes : bersifat lebih universal, peran bahasa dieliminir seminimal mungkin.
* Mengukur High Order Skills : kemampuan penalaran lebih tingi.
* Work Limit : bukan time limit, jadi kecepatan kerja anak tidak mempengaruhi hasil.

Add a comment March 24, 2010

Menanti Bom Waktu Autisme

Jakarta,- Pada 2 April dunia memperingati hari autisme. Satu peringatan yang penting untuk dunia kesehatan. Melly Budhiman, Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI), mengatakan autisme kini sudah menjadi pandemi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak dirinya berpraktek sebagai psikiater dari 1976 sampai 1980-an, pasien autisme yang datang ke dirinya hanya tiga sampai lima per tahun. Sekarang, tiga pasien baru per hari, itu pun karena dirinya membatasi menerima pasien. Kalau tidak membatasinya mungkin pasien baru lebih banyak. Bayangkan, dari tiga per tahun sampai tiga per hari hanya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Menurut Melly, autisme di Indonesia kurang mendapat perhatian. Padahal sekali terdiagnosa sebagai anak autisme maka untuk keluar dari gejala itu butuh waktu bertahun-tahun dan biayanya sangat mahal. Ini seperti bom waktu yang mau meledak. Makin banyak, makin banyak, makin banyak dan akhirnya kita akan kehilangan generasi mendatang karena anak autisme dari lapisan masyarakat bawah tidak mendapat penanganan yang baik. Berikut wawancara Faisol Riza dengan Melly Budhiman.

Data yang muncul di beberapa media menyebutkan bahwa pada tahun 1987 rasio jumlah orang dengan autisme adalah 1: 5.000. Pada tahun 2007 di AS menurut laporan Center for Disease Control memiliki rasio autisme 1:150 (di antara 150 anak, ada satu anak autisme). Sementara di Inggris sendiri disebutkan rasionya yaitu 1:100. Dari data yang sudah muncul di beberapa media terlihat semakin lama semakin tinggi orang dengan autisme. Apa itu autisme?

Autisme bukan penyakit jadi jangan disebut penderita atau penyandang karena memang disandang seumur hidup. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan. Bedanya dengan penyakit adalah kalau penyakit ada virusnya, ada kumannya, ada jamurnya. Sedangkan autisme tidak ada. Jadi tidak ada obatnya juga.

Apa gejalanya?

Gejalanya adalah gangguan perkembangan yang menyangkut perkembangan komunikasi dua arah, kemudian interaksi sosial yang timbal balik, dan perilaku. Yang nomor satu kelihatan adalah anak ini tidak bisa berbicara. Walaupun sudah waktunya bicara masih belum bisa bicara. Itu yang biasanya membawa orang tua ke dokter. Mengapa anak saya sudah 2,5 tahun belum bisa bicara? Kalau dokternya mengerti maka akan langsung waspada lalu periksa yang lain-lain. Tapi kalau dokternya tidak mengerti kadang-kadang diremehkan, seperti mengatakan, “Tidak apa-apa, biasa anak laki itu bicaranya terlambat, keponakan saya empat tahun baru bisa bicara juga sudah jadi profesor sekarang.” Jadi orangtuanya terlena. Beda antara anak autisme dan tidak adalah kalau anak terlambat bicara saja maka dia akan berusaha komunikasi dengan bahasa Tarzan. Jadi dia terlambat komunikasi verbal. Tapi secara non verbal dia berusaha komunikasi dengan mimik muka, dengan gerak gerik. Sedangkan anak autisme tidak.

Apa gejala yang biasanya tampak dalam perilaku?

Perilakunya terlihat sekali aneh-aneh. Dia melakukan hal-hal yang aneh berulang-ulang. Misalnya, dia sering berputar-putar, dia sering memutari benda yang bulat dan senang sekali. Kalau sudah berhasil kemudian melompat-lompat sambil mengepak-ngepakkan tangan. Kemudian ada juga yang suka duduk di pojok, atau hanya main pasir, atau ada yang senangnya main air, dan ada yang mendorong-dorong terus bolak-balik.

Apa bedanya dengan down syndrome, terbelakang atau cacat mental?

Beda banget dong. Kalau down syndrome itu kelainan kromosom. Pada saat pembuahan ada kromosom yang nakal, menyeleweng. Seharusnya kromosom ibu terbelah dua, ayah terbelah dua juga kemudian masing-masing kromosom saling menempel seperti di nomor 1, 2, 3, dan seterusnya. Ada satu yang nakal, bukannya menempel di kromosomnya sendiri, di nomornya sendiri, tapi dia menyeleweng menempel di kromosom lain.

Apakah gejalanya sama?

Tidak, kalau kelainan kromosom itu seluruh tubuh sudah ada kelainan kromosom, kemudian kelainan kromosom selalu disertai dengan retardasi mental. Jadi IQ-nya kurang. Kemudian ada ciri-ciri fisik. Misalnya Down Syndrome itu ciri fisiknya disebut Mongoloid, karena wajahnya seperti orang Mongol. Matanya miring ke atas, hidungnya pesek, dan sebagainya. Segala bangsa kalau sudah down syndrome wajahnya sama.

Apakah kalau anak autisme bisa pintar dengan IQ yang lebih tinggi daripada anak lainnya?

Bisa. Kalau autisme itu tidak ada kelainan kromosom, tapi ada kelemahan genetik. Predisposisi genetik itu ada. Akan tetapi, predisposisi genetik itu harus ada yang diturunkan oleh ayah dan ibu. Bukan salah satu. Jadi bawaan kelemahan genetik. Tapi meskipun kita membawa kelemahan genetik kalau tidak ada paparan negatif dari lingkungan, mungkin gejala autisme tidak tercetus.

Apa penyebab dari lingkungan?

Misalnya racun-racun kimia. Sekarang makanan anak ada pengawet, perasa, pewarna, itu semua racun kimia. Kemudian di rumah orang memakai penyemprot pembasmi nyamuk. Kalau obat itu bisa membunuh nyamuk, apa itu bukan racun buat manusia? Juga pemakaian kimia yang terlalu banyak, kemudian paparan polusi udara. Udara kita terpolusi nomor tiga di dunia di bawah Cina dan India. Jadi anak-anak kita menghirup udara yang mengandung logam berat, misalnya mercury, cadmium, plumbum (timah hitam). Anak-anak lain juga menghirup tapi mereka tidak autisme, sedangkan anak ini menjadi autisme karena sudah ada kelemahan genetik.

Di mana bagian tubuh yang biasanya terkena pengaruh polusi?

Di otak. Itu yang kemudian memerintah tubuh sehingga tidak berkembang. Tapi teori sekarang adalah itu bukan kelainan di otak saja, tetapi tubuhnya juga menderita suatu kelainan yang mempengaruhi kerja otaknya. Kalau yang di tubuh diobati sehingga menjadi baik, maka yang di otak juga akan sembuh sehingga autisme juga bisa diperbaiki.

Agar masyarakat bisa mengetahui dan mendeteksi secara dini, apa yang mereka mesti lakukan sejak awal?

Untuk mendeteksi dini harus mengetahui kapan gejalanya mulai timbul. Gejalanya timbul di bawah usia tiga tahun. Namun sebagian memang sudah ada sejak lahir. Sebagian lagi saat hamil normal, lahir normal, berkembang normal, namun pada umur 1,5-2 tahun mendadak berhenti berkembang, kemudian mundur, dan muncul gejala autisme. Kalau anak yang sejak lahir sudah membawa gejala itu, misalkan, ibu hamil terkena rubella, kena campak, herpes, dan sebagainya. Pada waktu empat bulan pertama kehamilan bisa mempengaruhi perkembangan otaknya. Anaknya sejak lahir sudah ada gejala autisme. Anaknya itu kelihatan tidak responsif, tatap matanya sejak kecil tidak ada. Kalau diajak gurau oleh ibunya tidak merespons, cuek. Tidak mencari suara ibu. Itu sudah kelihatan. Makin besar makin kelihatan. Tapi kalau anak yang sudah berkembang normal kemudian mundur, itu lebih jelas. Misalnya, sudah bisa berbicara tapi sekarang tidak bisa lagi, sekarang menjadi hyper, menjadi cuek. Nah, anak itu harus dibawa ke dokter.

Dulu orang beranggapan autisme cuma diderita oleh kelompok tertentu saja, hanya dikenal di kota saja, barangkali orang kaya saja yang tahu karena untuk memeriksakannya membutuhkan biaya mahal. Apa memang seperti itu citranya?

Mungkin iya, karena umumnya yang memeriksakan anaknya hanya orang yang kaya. Kalau orang miskin tidak dibawa ke dokter. Tapi buktinya pasien saya sekarang dari semua golongan. Dari anaknya penjual bakso, koran, bengkel sepeda, pembantu, Satpam. Jadi dari semua golongan. Ada juga yang oma-opanya profesor, orang tuanya sarjana tapi anaknya autisme. Juga tidak mengenal etnik, semua etnik di Indonesia kena. Kemudian tidak mengenal bangsa, di Afrika banyak autisme, di India banyak, di Qatar banyak, di Amerika juga banyak. Pokoknya sekarang itu suatu pandemi di seluruh dunia.

Apakah ini sebetulnya dari zaman dulu sudah ada atau memang beberapa dekade terakhir ini saja dikenal secara luas?

Dari dahulu juga ada tapi sedikit. Misal, saya praktek sebagai psikiater anak sudah dari tahun 1976. Sejak itu sampai tahun 1980-an, pasien autisme yang datang ke saya mungkin tiga sampai lima per tahun sehingga saya ingat betul karena kasusnya jarang. Sekarang, tiga pasien baru per hari, itu pun karena saya membatasinya. Kalau saya tidak membatasinya mungkin pasien baru lebih banyak. Bayangkan, dari tiga per tahun sampai tiga per hari hanya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Apakah ada atau tidak jenis-jenis autisme itu? Maksudnya, spektrumnya karena bisa macam-macam maka kecenderungannya bisa macam-macam. Apakah ada jenis tertentu yang dibedakan secara ilmu medis?

Sebetulnya tidak. Istilah medisnya itu sebetulnya autisme invantil kemudian diperpendek menjadi autisme, kemudian diperpendek lagi oleh awan menjadi autis. Lalu dikatakan juga spectrum disorder karena spektrumnya luas. Maksudnya spektrumnya luas maka gejalanya sangat variatif. Ada yang hiperaktif, ada yang hipoaktif, ada yang suka menyerang, ada yang suka menyakiti diri sendiri, ada yang pintar, ada yang bodoh. Gejalanya sangat variatif. Karena itu dikatakan suatu spektrum yang sangat luas.

Apakah sebenarnya bisa sembuh dalam tanda petik?

Sekarang dikatakan bisa. Tergantung dari apa yang disebut sembuh itu. Kalau sembuh berarti dia sudah pandai berkomunikasi dengan orang lain, dia sudah bisa bersosialisasi, perilakunya sudah tidak aneh-aneh lagi, banyak yang sudah sembuh dalam tanda kutip.

Bagaimana terapi yang telah dibuat untuk penyandang autis?

Terapinya harus sangat-sangat intensif, sangat komprehensif, dan macam-macam. Pertama, mereka tidak bisa berbicara maka harus mendapatkan terapi bicara. Kemudian lucunya anak ini ototnya kuat. Jadi bisa lari dan kalau memukul orang bukan main kerasnya. Tapi disuruh pegang pensil, tangannya lemas. Jadi seolah-olah tidak mempunyai tenaga. Otot-otot halusnya tidak terampil sehingga mereka harus mandapatkan terapi okupasi untuk melenturkan otot-otot halusnya dan dipersiapkan supaya bisa memegang pensil, bisa menulis, dan sebagainya. Selain itu, karena mereka memiliki perilaku yang aneh-aneh, maka harus terapi perilaku. Jadi perilaku yang tidak wajar dihilangkan, diganti dengan perilaku yang wajar. Itu yang dari luar. Kemudian ada juga yang keseimbangannya tidak bagus atau panca inderanya ada gangguan. Nah itu perlu diterapi juga, namanya terapi integrasi sensoris. Disuruh merosot di perosotan, diglondongin di bola besar, diayun-ayun, dan sebagainya. Itu terapi-terapi dari luar.

Dari dalam tubuh sendiri juga harus diterapi, dicari dengan laboratorium atau periksa darah apakah anak ini mempunyai gangguan alergi atau tidak? Kebanyakan mereka mempunyai alergi makanan yang sangat banyak. Kalau ketahuan, hilangkan. Kemudian rambutnya diperiksa, apakah anak ini keracunan logam berat atau tidak? Kalau keracunan didetoks atau dikeluarkan logam beratnya. Anak-anak ini pencernaannya jelek. Kalau kita secara cermat bertanya pada orang tuanya, “Ibu, bagaimana pola pencernaannya?” Jawabannya, “Itu dok, lima hari sekali baru ke belakang, pringkil-pringkil kayak krikil. Kemudian baunya luar biasa.” Jadi pencernaannya buruk sekali. Kalau diperiksa, banyak sekali jamur dan kuman di ususnya, dan itu kronis bertahun-tahun.

Berapa lama usia seorang anak bisa diobservasi tapi di atas usia tertentu sudah bisa bebas autisme?

Oh, tidak ada peramal yang bisa meramalkan kapan dia akan bebas. Pokoknya, yang satu cepat sembuh dalam tanda kutip, yang satu tidak sembuh-sembuh sampai besar. Jadi variatif, setiap kasus itu unik, tidak bisa kita mengeneralisasi. Sering orang tua bertanya, “Bu dokter, berapa tahun lagi kira-kira sembuhnya?” Loh, mana tahu, kita bukan peramal.

Apakah terapi anak autisme bisa dilakukan oleh keluarga juga?

Kalau keluarganya mau melakukan terapi bisa juga. Dalam hal ini sebetulnya anak juga mengerti. Kalau di terapi center, dia menurut dengan gurunya. Namun saat terapi dilakukan oleh orang tuanya di rumah, dia sama sekali tidak mau seperti mengerti siapa yang harus dituruti. Jadi orang tua kesulitan kecuali sangat tegas, sangat konsisten dalam disiplin sehingga anak menjadi menurut. Saya mempunyai teman yang anaknya autisme. Lalu dia mengatakan, “Sewaktu kecil, kayaknya tuh saya juga begini”. Ditanya, “Kok bisa dan sekarang sudah jadi sarjana?” Dijawab, “Ya, ayah saya itu tentara jadi tidak mentolelir perilaku yang aneh-aneh. Saya ditampar dan saya takut, gak berani berperilaku begitu”. Sembuh tuh. Tapi saya tidak menganjurkan supaya menampari anak.

Mengenai Yayasan Autisme Indonesia (YAI), yayasan ini secara serius menangani dan mengobservasi kasus autisme di Indonesia. Apa harapan Anda sebagai ketua yayasan terhadap pemerintah dalam kasus ini?

Sekali terdiagnosa sebagai anak autisme maka untuk keluar dari gejala itu butuh waktu bertahun-tahun dan biayanya sangat mahal. Segala jenis terapi yang saya sebutkan tadi mahal dan biayanya dihitung per jam, misalnya Rp 50.000 per jam. Apakah biaya itu bisa terjangkau sama orang lapisan bawah? Jadi yang saya harapkan pemerintah mendirikan sekolah-sekolah gratis dengan terapis yang dilatih dan terapisnya gratis. Jadi untuk golongan yang sangat-sangat bawah bisa membawa anaknya terapi. Mana mungkin dan darimana uangnya kalau gajinya Rp 400.0000 sebulan disuruh bayar terapi sejamnya Rp 50.000. Kemudian vitamin dan obatnya juga mahal sekali, kalau sakit juga membutuhkan dokter, dan sebagainya. Kami mengharapkan kita mempunyai autisme center, diagnosis center, teraphist center, information center, research center. Kalau itu semua diongkosi oleh pemerintah, wah senang sekali.

Ini mungkin pemerintah sekarang sedang sibuk dengan flu burung.

Itu karena flu burung fatal. Sementara autisme dinilai tidak fatal, jadi kurang mendapat perhatian. Tapi ini kayak bom waktu yang mau meledak. Makin banyak, makin banyak, makin banyak dan akhirnya kita akan kehilangan generasi mendatang karena anak autisme dari lapisan bawah masyarakat tidak mendapat penanganan yang baik. Sekarang saya tidak tahu bagaimana jumlah orang dengan autisme, apakah 1:250, 1:200, 1:150. Saya tidak tahu. Belum pernah dilakukan survey mengenai banyaknya jumlah anak autisme di Indonesia. Itu karena harus dilakukan seperti sensus sehingga mahal sekali. Suatu kali kami pernah nekat, ok yayasan autisme mau kerja rodi mengadakan survey asal ada uangnya. Kami kemudian membuat proposal dan menghitung biaya untuk survey mendata anak autisme di lima wilayah Jakarta membutukan Rp 900 juta. Tidak ada yang mau memberikan uang ke kita Rp 900 juta sehingga tidak jadi.

Apa yang sudah dilakukan Departemen Kesehatan untuk autisme?

Mungkin belum terpikir ke sana karena seperti yang tadi saya katakan, di Indonesia itu masih lebih banyak sekali penyakit yang bisa berakibat fatal. Jadi kasus autisme yang dinilai tidak fatal kurang mendapat perhatian. Tapi seperti yang saya katakan tadi ini bom waktu karena jumlahnya makin tinggi.

Jika pembaca melihat anak-anak mereka ada gejala awal autisme, kemana mereka harus mencari informasi terlebih dahulu, terutama di daerah?

Informasi awal bisa membuka website YAI http://www.autisme.or.id. Di sana ada banyak informasi dan ada suatu kolom yang bisa menghubungi kami untuk tanya jawab. Jadi apa saja yang mereka tanyakan akan dijawab.

Apakah ada hotlinenya seandainya mereka menginginkan komunikasi secara langsung?

Belum, karena sumber daya manusia (SDM) YAI sedikit sekali karena ini yayasan sosial sehingga semua orang yang ada di situ tidak dibayar. Semua orang di YAI, orang sibuk. Jadi kami sangat kekurangan SDM.

Kita kembali ke masalah autisme. Saya ingin sedikit spesifik terutama tentang penyebabnya. Apa yang harus dihindari terutama bagi orang tua yang kira-kira mempunyai latar belakang sejarah keluarga autisme agar anak-anak mereka terhindar dari autisme?

Itu pertanyaan yang bagus sekali, kebetulan kami mau mengadakan autisme ekspo 26-27 April 2008 di gedung Sucofindo. Semoga menteri kesehatan mau membukanya. Di situ ada bazzar, pameran anak-anak autis, kemudian diisi pertunjukan anak-anak yang sudah mulai sembuh. Setelah itu seminar bergulir terus. Salah satu yang mau dibahas adalah bagaimana meminimalkan risiko pada kehamilan berikutnya setelah anak yang pertama terdiagnosa sebagai anak yang autisme. Jadi semua akan dibahas di situ, termasuk perkembangan otak janin, di mana bahayanya, dan sebagainya.

Jadi sangat kompleks masalah autisme ini. Apa rumah sakit di Jakarta yang bisa menjadi rujukan?

Di RSCM ada klinik tumbuh kembang di bagian psikiatri anaknya. Ada juga di RS MMC Kuningan, RS Omni Medical Center, RS Pondok Indah, RS Fatmawati. Jadi banyak rumah sakit besar yang sudah mempunyai klinik tumbuh kembang dimana bisa terdeteksi gejala-gejala autisme sejak dini.

Apa pesan Anda kepada pembaca untuk menghindari gejala dini autisme?

Kenali secara dini autisme. Jika ada gejalanya cepat-cepat ditangani dan jangan ditunda-tunda. Jangan berpandangan mungkin bisa bicara setelah empat tahun, jangan begitu. Saat melihat ada gejala dini harus segera ditangani karena kalau sudah sedini mungkin ditangani masih bisa kembali ke jalur perkembangan yang normal.**

Add a comment March 24, 2010

Anak Autisme pun Capai Pendidikan S3

Pernahkah kita melihat anak kecil dengan sikap yang tidak biasa, seperti menggeleng-gelengkan kepala, cuek bila dipanggil, memainkan satu benda selama satu jam, bila ya, maka mungkin kita telah melihat anak yang mengalami autisme. Sebenarnya apa sih autisme itu? Salah satu pakar akan coba menjabarkan lengkap tentang autisme. Autisme merupakan suatu kelainan yang dialami manusia akibat kelainan kromosom. “Tapi sampai sekarang, masih belum diketahui kelainan pada kromosom yang mana,” kata DR dr Y Handoyo MPH, ketua Yayasan AGCA Center (Sekolah untuk anak berkebutuhan khusus). Faktor penyebab kelainan kromosom tersebut dapat diakibatkan oleh faktor eksternal (pemicu) dan internal (genetik). Faktor eksternal dapat terjadi karena terkena paparan logam berat atau terkena penyakit. Sedangkan untuk faktor internal, berdasarkan data statistik, faktor penyebabnya terjadi waktu memiliki anak. Semakin lanjut usia seseorang memiliki anak, semakin besar kemungkinan anak yang dikandungnya mengalami autis. Seperti pada penyakit, autisme ini memiliki derajat tingkat keparahan dari yang berat hingga yang ringan. “Karena spektrumnya (derajat tingkat keparahan, red) yang demikian luas, maka sekarang ini autisme tidak dipandang lagi sebagai suatu penyakit, melainkan sebuah syndrome atau kumpulan dari gejala,” ujarnya. Secara garis besar, tiga gejala umum autisme, yaitu ketidakmampuan bersosialisasi, ketidakmampuan berkomunikasi dan adanya perilaku aneh yang repetitive (diulang secara terus-menerus). Ketidakmampuan bersosialisasi ditandai dengan kontak mata yang buruk atau tidak ada sama sekali, cuek bila dipanggil, dan tidak mengerti perasaan orang lain. “Misalnya, pengidap autis akan langsung mencomot makanan orang lain tanpa permisi, memasuki rumah orang tanpa permisi,” ujar pria ramah ini. Yang menyangkut ketidakmampuan berkomunikasi adalah lambat berbicara atau tidak bisa berbicara sama sekali, berceloteh yang tidak diketahui artinya, membeo atau menirukan kata-kata atau nyanyian tanpa mengetahui artinya.Perilaku aneh di sini seperti: menggoyangkan kepala, memainkan jari tangan, berlari memutari kursi, naik turun tangga, memainkan gerendel pintu, dll selama setengah hingga satu jam. Anak Autis juga suka melihat benda yang bergetar (seperti speaker), berkilau, berputar, dll. “bila kita mengganggunya atau berusaha menghentikan keinginannya, dia akan sangat marah!” ujarnya.
Penanganan Autisme bisa melalui terapi perilaku (behaviour therapy) maupun terapi biomedis (biomedical therapy). Terapi perilaku terdiri dari terapi bicara, terapi okupasi, bersosialisasi, menghilangkan perilaku autis (perilaku aneh), dll.Terapi biomedis dilakukan dengan pemberian obat, vitamin, mineral, suplemen, diet susu sapi dan tepung terigu, serta terapi kelasi (chelation therapy) yaitu terapi untuk mengeluarkan logam berat pada tubuh. Diet susu sapi dan tepung terigu dilakukan karena orang autis tidak dapat mencerna protein pada susu sapi maupun tepung terigu dengan sempurna, serta dapat menimbulkan efek semacam morphin pada otakPenanganan tersebut berhasil jika anak tersebut dapat ber-mainstreaming (dapat diterima di semua lingkungan, bisa mandiri), bukan normal, karena definisi ‘normal’ sendiripun masih sulit untuk diartikan. “Jangan meremehkan anak autis! Anak autis ini ada yang dapat bersekolah sampai S1, S2, bahkan S3. Belum tentu manusia ‘normal’ yang lain dapat seperti ini,” katanya sambil tersenyum.

Kunci untuk para orang tua agar anaknya terhindar dari autisme adalah agar segera melakukan deteksi dini. Saat bayi berusia kurang dari dua tahun, periksa kontak mata pada bayi. Biasanya bayi usia dua sampai tiga bulan dapat melakukan kontak mata. Sedangkan bila anak sudah berusia lebih dari dua tahun, harus dilihat kemampuan berbicaranya, ketanggapannya bila dipanggil, serta kontak matanya. Semakin cepat anak autis ditangani maka semakin besar pula kemungkinannya untuk sembuh.

Add a comment March 24, 2010

Terapi Anti Depresi Dapat Membantu Anak-Anak AUTIS

Sebagian besar anak-anak penderita autisme, yang disebabkan karena faktor genetika mengalami depresi, bisa mendapatkan perawatan obat-obatan anti depresi, seperti Prozac (fluoxetine), demikian pernyataan Dr. Robert DeLong, spesialis syaraf di Universitas Duke, Inggris.

Pada sebuah jurnal Syaraf, edisi Maret 23, DeLong menyajikan suatu hipotesis baru mengenai dua pertiga dari anak-anak yang menderita autisme infantil. Kenyataannya anak-anak ini dapat disembuhkan. Ketidakselarasan genetika, merupakan bentuk serangan awal dari depresi yang parah. Argumentasi DeLong berdasarkan analisis genetika terkini, penelitian mengenai perilaku, kimia otak, dan analisis konsep-konsep pada anak-anak autis, melalui penelitian di Universitas Duke dan institut-institut lain.

Hasil penelitian:

“Penelitian mengenai genetika dan konsep-konsep otak, juga pemeriksaan ulang tentang gejala-gejala klasik dari autisme, menunjukkan bahwa banyak anak-anak autis menderita autisme bukan karena keturunan dan kami tahu cara mengatasinya,” jelas DeLong.

Anak-anak yang menderita autisme tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial yang dibutuhkan di lingkungannya.

Autisme nyatanya merupakan spektrum dari ketidakselarasan dengan gejala-gejala yang hampir sama, kata DeLong. Anak-anak autis, pada tahun kedua dari kehidupan mereka biasanya kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya dan tidak berbicara, atau menggunakan bahasa, walaupun banyak di antara mereka mempunyai intelegensi yang normal.

Ada penderita autisme yang disebabkan karena penyakit atau luka di daerah-daerah tertentu di otak, namun kasus yang terbanyak tidak diketahui, disebut sebagai kasus idiopatik. DeLong menyatakan bahwa 70 persen penderita ketidakselarasan yang tidak menyenangkan, seperti keterbelakangan mental atau gangguan pikiran yang menekan, bukan karena keturunan.

“Beberapa tahun yang lalu saya perhatikan, bila kita melihat secara hati-hati gejala-gejala autisme, gejala-gejala tersebut lebih terlihat sebagai depresi dan ketidakselarasan mental,” kata DeLong.

“Anak-anak ini tidak memperlihatkan kegembiraan atau kespontanan yang biasanya tampak pada anak-anak normal. Dan mereka sering memperlihatkan secara ekstrim hentakan keinginan, kemarahan dan rasa takut yang berlebihan.”

De Long telah menemukan berbagai petunjuk, dari penelitian sekelompok anak autis, yang menderita autis karena ketidakselarasan genetik. Terlihat terjadi hal yang sama pada anak-anak ini, yaitu mereka dapat dirawat dengan pengobatan anti depresi.

Ketika para peneliti mempelajari otak anak-anak yang menderita autisme idiopatik, mereka menemukan serotonin neurotransmitter yang sangat rendah di sebelah kiri otak pada daerah penggunaan bahasa. Serotonin juga penting untuk mempengaruhi suasana hati. Pada orang yang menderita depresi klinis, serotoninnya rendah sekali.

“Pada perkembangan otak anak-anak, serotonin tidak saja berperan sebagai penerus informasi, tetapi juga sebagai agens (zat, kekuatan) pengembang yang mempengaruhi pertumbuhan otak,” kata DeLong. “Bila peringkat serotonin di belahan otak kiri tidak mencapai peringkat kritis pada awal masa kanak-kanak, orang akan dapat melihat gejala-gejala seperti yang diderita autisme: terganggunya perkembangan kemampuan kognitif, sosial dan emosional.”

Penelitian terhadap orang-orang dengan otak yang mengalami pembedahan untuk memisahkan hubungan antara belahan otak kiri dan otak kanan, guna menghilangkan gejala-gejala epilepsi, biasanya disebut eksperimen “pemisahan otak”, memperlihatkan otak bagian kiri merupakan penggerak keterampilan bahasa dan sebab akibat, sedangkan otak bagian kanan merupakan penggerak keterampilan visual, gerakan tubuh, kemampuan musik dan hafalan. Peringkat serotonin di otak bagian kanan dari sebagian besar anak-anak penderita autisme idiopatik keadaannya normal dan keterampilan visual serta gerakan tubuh mereka juga normal. Pada kenyataannya, banyak sarjana autis memperlihatkan jenis kompensasi yang berlebihan pada otak bagian kanannya, yang memberikan kepada mereka kemampuan-kemampuan lebih dalam keterampilan menghitung, matematika, musik atau artistik.

Ketika para peneliti mempelajari anak-anak yang lebih tua dan para remaja yang terdiagnosis sebagai ketidakselarasan mental, mereka menemukan bahwa anak-anak ini mempunyai kemampuan visual dan gerakan tubuh yang lebih besar, namun kemampuan bahasa yang rendah, walaupun tidak sebesar anak-anak autis.

Penemuan-penemuan ini mengarahkan DeLong untuk mencoba merawat anak-anak autis dengan Prozac (fluo-xetine) dan beberapa obat khusus pencegah ter-hambatnya serotonin (SSRls). Obat-obat tersebut merupakan obat untuk merawat depresi, bekerja menambah serotonin dalam otak.

Laporan sebuah penelitian pada bulan Oktober 1998 yang diterbitkan oleh Journal of Developmental Medicine and Child Neurology, DeLong dan kawan-kawan melaporkan bahwa ketika 37 anak-anak autis berusia 3 sampai 7 tahun dirawat dengan Prozac (fluoxetin) selama tiga tahun, 22 dari antaranya merespon baik penggunaan obat tersebut, memperoleh kembali keterampilan berbahasa, kemampuan bersosial meningkat dan gangguan pikiran yang diderita mereka seperti misalnya, terpaku pada satu obyek tertentu selama berjam-jam akan hilang. Dari anak-anak yang merespon baik pengobatan tersebut, semua mempunyai riwayat penyakit depresi mayor dari keluarganya.

“Menarik untuk mengatakan bahwa autisme dan ketidakselarasan mental disebabkan oleh penyebab yang sama, yaitu gen yang cacat,” kata DeLong, “Dan fakta tentang gen tersebut mulai mengarah ke sana.”

Penelitian oleh DeLong dan kawan-kawan di Universitas Duke menunjuk ke gen di suatu tempat pada kromosom 15, sebagai gen autisme yang berpotensi. Dan sekarang berbagai penelitian mengenai depresi di berbagai lembaga pendidikan memperlihatkan hasil yang sama yaitu kromosom 15, sebagai gen dari ketidakselarasan mental yang berpotensi.

“Walaupun kita belum dapat memastikan bahwa gen tersebut adalah hanya satu dan sama, namun fakta tersebut memberikan harapan, dan mudah-mudahan dalam waktu dekat kita sudah bisa mendapatkan jawabannya,” ujar DeLong.

“Penelitian mengenai genetika, memberikan harapan pada diagnosis awal,” jelas DeLong, dan perkembangan dari pengobatan khusus yang lebih banyak untuk meningkatkan pengadaan serotonin pada pengembangan otak anak-anak autis bahkan akan menambah harapan bagi perawatan yang efektif bagi penyakit ini.

“Daripada menganggap autisme sebagai penyakit yang tak mungkin disembuhkan, lebih baik kita melihatnya sebagai penyakit yang dapat diobati, ini lebih baik daripada sama sekali tidak mempunyai harapan,” kata DeLong. “Harapan saya adalah penelitian-penelitian berikutnya dapat secara lebih awal mengidentifikasi dan mengintervensi autisme, sehingga autisme menjadi penyakit yang dapat diatasi melalui perawatan.”

Add a comment March 24, 2010

Penanganan Tepat pada Anak Autisme

AUTISME atau disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), hingga kini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita autis agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.

Anak yang menderita autis sebenarnya dapat diketahui sejak usia dini. Karena umumnya gangguan ini muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Hanya kebanyakan orangtua kurang aware dengan gejala yang timbul pada anaknya hingga usia empat tahun.

Padahal pada usia tersebut, anak sudah larut dengan dunianya sendiri sehingga tidak bisa berkomunikasi dan berinterkasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Ketika kondisi tersebut terlambat diketahui, maka langkah utama yang harus dilakukan ialah memfokuskan kelebihan anak di bidang tertentu yang dikuasainya.

Nah, kunci sukses untuk membantu para orangtua atau keluarga agar penderita autis dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka seluruh anggota keluarga harus turut langsung membantu para penderita ini berusaha melakukan hal itu.

Menurut dr Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), pakar autis indonesia, beberapa keganjalan yang sering dilakukan oleh penderita autis dapat dibantu dengan melakukan empat macam terapi. Saat ini sudah terdapat beberapa terapi bagi penderita autis, baik itu terapi perilaku – ABA, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara maupun terapi tambahan seperti terapi musik, AIT, Dolphin Assisted Therapy.

“Terapi perilaku – ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autis yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang diperintahkan, maka harus mengagetkan mereka,” kata dr Irawan dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia, belum lama ini.

Terapi sensori integrasi, sambungnya, khusus ditujukan pada fungsi biologis otak. Sehingga otak melakukan segala sesuatu dengan benar. Sementara itu, terapi okupasi dilakukan untuk memperbaiki aktivitas penderita autis. Selain itu ada juga terapi wicara yang dilakukan untuk membantu penderita autis yang mengalami gangguan bicara agar bisa berbicara kembali.

Ternyata agar anak autis dapat kembali di tengah-tengah keluarganya, tak hanya langkah terapi saja yang dilakukan. Pemberian nutrisi tepat bagi penyandang autis juga harus diperhatikan. Karena pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu.

Menurut ahli gizi Sun Hope Indonesia, Fatimah Syarief, AMG, StiP, orang tua perlu memerhatikan beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari seperti makanan yang mengandung gluten (tepung terigu), permen, sirip, dan makanan siap saji yang mengandung pengawet, serta bahan tambahan makanan.

“Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan terutama makanan yang mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung),” kata Fatimah saat dihubungi okezone melalui telepon genggamnya, Rabu (30/4/2008).

Selain asupan makanan yang tepat, suplementasi pun perlu diberikan pada pasien autis mengingat adanya gangguan metabolisme penyerapan zat gizi (lactose intolerance) dan gangguan cerna yang diakibatkan karena konsumsi antibiotik dengan pemberian sinbiotic (kombinasi Sun Hope probiotik dan enzymes sebagai prebiotik).

“Meski suplemen penting diberikan pada penderita autis, hal yang paling tepat dilakukan adalah memberikan pengaturan nutrisi yang tepat. Ketika makanan tidak tepat masuk ke dalam tubuh, maka akan masuk ke usus halus dan tidak tercerna dengan baik. Akhirnya makanan tersebut keluar melalui urin, karena material tersebut sifatnya toxic (racun) sehingga terserap ke otak. Hal tersebut menyebabkan anak autis semakin hiperaktif,” jelasnya panjang lebar.

Tak hanya itu saja, untuk membantu mengurangi gejala hiperaktif dan membantu meningkatkan konsentrasi dan perbaikan perilaku, suplementasi omega 3 yang terdapat pada Sun Hope Deep Sea dapat dijadikan alternatif.

Add a comment March 24, 2010

Pentingnya Intervensi Dini untuk Anak Autis

Anak-anak adalah masa yang membahagiakan. Oleh karenanya, setiap anak berhak menikmati masa indah tersebut dengan perasaan nyaman dan memuaskan dengan senantiasa memperoleh kasih sayang dan perhatian dari orangtua, teman sebaya, maupun lingkungan sekitar. Begitu pun hendaknya pada anak-anak autis.

Seperti diketahui, umumnya anak penyandang autis memiliki keterbatasan kemampuan dalam hal komunikasi, pola perilaku, dan interaksi sosial. Karena itu perlu penanganan khusus pada tahap perkembangan agar mereka dapat menjalani kehidupan layaknya anak-anak yang lain.

Penyebab autis hingga kini belum diketahui secara pasti. Namun begitu, beberapa penelitian di Jepang, Australia, dan sejumlah negara maju lainnya, menyatakan bahwa faktor genetik memiliki keterkaitan di sini. Menurut penjelasan Dr.Lucy Pou K.H., director professional services Indonesia Centre for Autism Resource and Expertise (IndoCare), anak autis membutuhkan perhatian dini, tak hanya dari orangtua dan keluarga, melainkan juga lingkungan sekitarnya. Penanganan pun hendaknya dilakukan dengan segera meliputi keterampilan dasar, pendampingan, menyediakan waktu khusus, dan masih banyak lagi.

”Ini memerlukan kerja sama semua pihak agar penanganan dapat lebih efektif. Orangtua, guru, dokter, terapis, atau psikolog harus saling berkomunikasi sehingga kebutuhan anak autis bisa terakomodasi,” ungkapnya di sela konferensi Oportunities for Children with Autism: Early Intervention or Later Rehabilitation?’ di Jakarta, Kamis (22/6).

Lucy mengatakan, persoalan utama yang dihadapi anak penyandang autis adalah kesulitan dalam berkomunikasi. ”Itu yang pertama. Makanya, terapi komunikasi perlu mendapat perhatian, baik oleh orangtua, guru, dan lainnya sebagai langkah lanjut,” imbuhnya.

Lantas bagaimana mengetahui seorang anak menyandang autis? Ciri awal yang dapat diketahui adalah jika sampai usia 12 bulan, dia belum mengucap babbling (kata-kata bayi). Kemudian hingga usia 18 belum satu kata keluar darinya. Begitu pula di usia 24 bulan belum bisa membentuk kalimat yang paling sederhana sampai menginjak usia lebih besar, dia mengalami gangguan berbahasa, baik verbal dan non verbal.

Terdapat dua tipe autis. Pertama, low functioning (IQ rendah). Pada anak autis low functioning, dia tidak akan dapat mengenal huruf maupun membaca. Maka dari itu, penanganan yang diberikan hendaknya tidak diarahkan ke sana, tetapi lebih ke pengajaran kemandirian yang sifatnya basic lifes skill.

Kedua adalah high functioning (IQ tinggi) atau yang biasa disebut asperger disorder. Anak autis tipe ini memiliki komunikasi yang baik, akan tetapi kurang dapat berinteraksi.

Penanganan anak autis dapat dilakukan dengan beberapa upaya. Bisa dengan menggunakan metode ABA (aplied, behaviour, realistis) yang merupakan terapi perilaku. Dapat pula dengan metode sensory integracy therapy, snouzleen theraphy, auditory therapy, speech and language therapy, occupational therapy ,dan psycho-educational therapy. Meski demikian menurut Lucy, terapi sendiri tidak akan berhasil apabila tidak diikuti dengan penanganan bersama oleh keluarga dan sekolah. “Ciptakan suasana yang kondusif bagi anak autis di lingkungan keluarga dan sekolah sebab di sanalah sebenarnya anak-anak itu bertumbuh kembang serta berinteraksi,” paparnya.

Identifikasi kelemahan
Sementara itu, Prof Ho Lai Yun, MBBS,M.Med (Paediatric), Associate Dean Singapore General Hospital and Outram Campus, mengatakan intervensi dini terhadap anak penyandang autis sangat dibutuhkan dalam upaya penyiapan program pendampingan khusus. Adapun desain dari program tersebut harus tetap diarahkan pada pengembangan kemandirian, sosial, basic skill, communication skill, dan lainnya.

“Untuk itu, penting diketahui apa-apa saja kemampuan yang dimiliki oleh anak dan apa yang menjadi kelemahannya. Sebab dengan begitu, kita bisa mengidentifikasi langkah-langkah penangangan yang dapat dilakukan,” ujarnya kemudian.

Dia lantas menyarankan, agar pelaksanaan program intervensi itu benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan anak. Seperti misalnya, anak autis dengan keluhan kesulitan membaca, maka ada baiknya jika penanganan tidak cuma dengan penerapan kegiatan belajar baca, tetapi dapat melalui berbagai cara. ”Pendekatannya adalah dari hal-hal yang menjadi kemampuan anak. Dari situ selain potensinya dapat berkembang sekaligus meningkatkan keterampilan yang lain,” kata wakil ketua Singapore Children Society ini.

Di tempat sama, Ketua Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Dr Mulyono Abdurrahman, mengatakan sejarah dan sistem pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara anak normal dan anak autis serta yang dikenal dengan anak luar biasa, justru dapat menyebabkan persoalan baru. ”Anak-anak normal tidak mau menghargai anak-anak yang berkebutuhan khusus, dan anak berkebutuhan khusus tidak bisa melakukan penyesuaian sosial dalam pergaulan di masyarakat,” tegasnya.

Oleh sebab itu, dia mengharapkan salah satu upaya penanganan bagi anak autis dan berkebutuhan khusus lainnya adalah dengan tidak memisahkannya dari pergaulan normal, berikan kesempatan yang sama kepada mereka.”Tidak semua anak-anak itu bodoh, justru sebaliknya ada yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, tinggal bagaimana kita memenuhi apa-apa yang mereka butuhkan untuk pengembabangan diri.”

Add a comment March 24, 2010

Memanusiakan Anak Autistik

Penanganan anak autis memang cukup berat, karena membutuhkan strategi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita autis tidak dapat mengendalikan emosinya. Ia hanya tertarik kepada aktivitas mental dirinya sendiri.

Kelainan ini juga menyebabkan perkembangan anak penyandang autis tertinggal jauh dibanding anak normal seusianya. Bahkan tidak mustahil anak autis akan menjadi abnormal selamanya, bila tidak mendapat penanganan, pendidikan, dan perlakuan yang serius.

Ketua Yayasan Autisma Indonesia Melly Budhiman mengatakan, selama ini pemerintah belum memberi perhatian kepada anak-anak yang terkena autis. Karena itu, para orangtua harus berjuang sendiri mengembangkan anaknya.

Sayangnya, terapi yang harus dijalani anak-anak autis ini harus dijalankan dengan intensif. Biayanya pun mahal, sehingga sering tidak terjangkau oleh masyarakat bawah. “Tidak jarang para orangtua habis-habisan menjual hartanya demi kesembuhan anaknya,” ujarnya.

Ketidakpedulian pemerintah terlihat dari belum jelasnya jumlah penyandang autis di Indonesia. Apalagi, jumlah mereka belum tertangani, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Lalu bagaimana mau menangani, bila data penderitanya pun masih belum diketahui?

Penelitian menunjukkan jumlah penderita autisme meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1987, ratio penderita autisme 1:5.000. Ini berarti, di antara 5.000 anak, ada satu anak autistik.

Angka ini meningkat tajam, menjadi 1:500 pada 1997, kemudian jadi 1:150 pada 2000. Para ahli memperkirakan pada 2010 mendatang penderita autis akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi di dunia. Sekitar 80%, gejala autis terdapat pada anak laki-laki.

Bila dilihat per negara, di Amerika autisme dialami dengan perbandingan 1:150 anak. Angka di Inggris juga menyentak, 1: 100 anak. Di negara-negara Asia, angka kejadian autisme meningkat pesat. Begitu juga di Afrika. Melihat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 April sebagai World Autism Day.

Autis berasal dari kata auto yang berarti ‘berdiri sendiri’. Istilah autis pertama kali diperkenalkan Leo Kramer pada 1943. Ketika itu ia mendapati gejala aneh pada seorang anak yang terlihat acuh terhadap lingkungan dan cenderung menyendiri. Seakan ia hidup dalam dunia yang berbeda. Kramer kemudian mempelajarinya. Itu sebabnya, autis juga dikenal dengan Syndrom Kramer.

Ada tiga karakter yang menunjukkan seseorang menderita autis. Pertama, social interaction, yaitu kesulitan dalam melakukan hubungan sosial.

Kedua, social communication, yaitu kesulitan dengan kemampuan komuniskasi secara verbal dan nonverbal. Sebagai contoh, sang anak tidak mengetahui arti gerak isyarat, ekspresi wajah, ataupun penekanan suara.

Karakter yang terakhir adalah imagination, yaitu kesulitan untuk mengembangkan permainan dan imajinasinya.

Julianita Gunawan, seorang peneliti autis, mengatakan ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Secara umum, anak autis dikatakan sembuh, bila mampu hidup mandiri, berperilaku normal, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lancar, serta memiliki pengetahuan akademis yang sesuai anak seusianya.

Gejala pada anak autis, biasanya sudah tampak sebelum anak berumur tiga tahun. Cirinya, tidak ada kontak mata dan tidak menunjukkan tanggapan terhadap lingkungan.

Pada sebagian anak, gejalanya dapat diketahui sejak anak lahir, disebut dengan Autistik Infantil. Ibu yang memperhatikan perkembangan anaknya, dapat mengetahui perbedaan si anak saat berusia satu tahun dari tatapan matanya. Sedangkan, sebelum usia tiga tahun, gejalanya dapat dilihat dari kurangnya interaksi sosial, cara berbicara, cara main yang monoton.

Penanganan kelainan ini diakui banyak pihak sangatlah sulit. Harus dibentuk penanganan menyeluruh yang terdiri atas orangtua, guru, terapis, dan keluarga. Semua ini harus diarahkan untuk membangun kemampuan anak bersosialisasi dan berbicara.

Penanganan oleh institusi profesional akan sangat membantu. Selain demi kemajuan penderita, konseling institusi ini akan dibutuhkan pihak keluarga untuk mendapatkan informasi, sekaligus menghilangkan perasaan bersalah atau merasa masalah ini adalah aib yang harus ditutupi.

Melalui Hari Autisme Internasional, diharapkan pemerintah dapat berperan serta dalam mensosialisasikan pengetahuan dan mempermudah akses informasi tentang autis kepada masayarakat.

Karena dengan intervensi dini yang tepat dan optimal, seorang anak penyandang autisme dapat pulih dan hidup normal di tengah masyarakat.

Add a comment March 24, 2010

Radiasi Wi-Fi Bikin Anak Jadi Autis?

Wifi Zone London – Manfaat Wi-Fi (wireless fidelity) memang besar terutama untuk lalu lintas data. Namun bagaimana jika gara-gara Wi-Fi, penyakit autis yang menyerang otak bisa melanda?

Sinyal Wi-Fi disinyalir bisa mempercepat perkembangan penyakit autis pada anak-anak. Demikian diungkapkan dalam sebuah studi yang dibesut oleh lembaga Australasian Journal of Clinical Enviromental Medicine. Studi ini mengungkapkan hubungan antara teknologi wireless dengan autisme. Mereka melakukannya dengan mengadakan berbagai tes terhadap anak-anak autis pada tahun 2005 dan 2006.

“Radiasi elektromagnetis dari Wi-Fi kelihatannya menjebak unsur tertentu dalam otak dan menyebabkan gejala autisme pada anak makin meningkat,” ungkap Dr. George Carlo, salah satu pembesut studi ini seperti dikutip detikINET dari EeTimes, Kamis (29/11/2007).

Sebelumnya, Dr George Carlo juga pernah meneliti bahwa penggunaan ponsel juga berpengaruh terhadap meningkatnya angka anak yang menderita autis. Gejala ini disebutnya mewabah di seluruh dunia.

Add a comment March 24, 2010

Pantang Menyerah Menemani Anak Autis

Autism Child Autism Child Jakarta, Tidak ada satu orang tua pun yang menginginkan anaknya terlahir sebagai anak autis. Namun ketika hal itu benar-benar menimpa mereka, tidak ada sikap yang lebih baik lagi selain menerima keadaan mereka apa adanya.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Autis bukanlah suatu penyakit, tapi gejala

Saat ini, banyak orang tua yang khawatir ancaman autis bakal menimpa anaknya. Mereka mulai panik ketika bayi mereka tidak bereaksi keika dipanggil, sering menangis, tidak ada eye contact, tidak tersenyum dan kadang terpukau dengan suatu benda.

Dra. Louisa Maspaitella, M.Psi dari RSAB Harapan Kita pun memaklumi kekhawatiran para orang tua tersebut.

“Saat ini jumlah anak autis di Indonesia banyak sekali, dan wajar saja orang tua ketakutan karena banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang anak terkena autis, kita tidak pernah tahu, ” ujar psikolog berdarah campuran Jawa dan Ambon tersebut dalam perbincangannya dengan detikhealth.

Dra. Louisa menyebutkan beberapa faktor penyebab autis, diantaranya faktor makanan, psikologi ibu, kurangnya oksigen, bahan-bahan kimia atau obat-obatan dan juga faktor genetik.

“Saya punya seorang pasien anak autis, ironisnya kedua orang tuanya seorang dokter, yang notabennya ahli di bidang medis. Lebih ironisnya lagi, ketiga anak mereka terlahir dalam keadaan autis semua,” ungkap wanita yang sehari-harinya disibukkan di RSAB Harapan Kita sebagai ketua tim Poliklinik Parent Education.

Selidik punya selidik, ternyata sang ibu doyan makan kerang yang banyak tercemar oleh limbah zat-zat kimia. “Konsumsi seafood memang sah-sah saja, tapi segala sesuatu yang berlebih memang berakibat buruk,” ucap Dra. Louisa.

Dra. Louis, begitu sapaan akrabnya, mengingatkan bahwa ibu hamil memang sangat rentan terhadap berbagai faktor resiko, kesehatan fisik dan psikis pun menjadi dua hal yang harus tetap dijaga.

Terkait dengan autis, gejala lain yang sering menyertai anak autis adalah ADHD. Berbeda dengan autis, Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD ditandai dengan gejala hiperaktif, tidak bisa fokus pada satu kegiatan, tidak bisa diam, sering mengganggu teman dan melakukan akivitas yang jarang dilakukan anak lain pada umumnya.

Anak autis memang bermasalah dalam hal komunikasi dan interaksi sosial, sepertinya mereka memiliki dunianya sendiri. Gejala ADHD pun terkadang hinggap pada mereka, namun tidak semua anak autis disertai dengan gejala ADHD.

“Anak autis belum tentu ADHD, dan begitu pula sebaliknya. Kedua gejala tersebut berbeda satu sama lain. Jika kita ingin tahu apakah seorang anak memiliki gejala ADHD atau tidak, coba dudukkan selama 5 menit saja di depan televisi, pasti ia tidak bisa dan langsung beranjak pergi jika memiliki gejala ADHD,” ujar Dra. Louis.

Jika perilaku seorang anak sudah dicurigai sebagai autis atau ADHD, Dra. Louis menyarankan untuk membawanya segera ke dokter atau psikolog.

Orang tua pun harus lebih pintar dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya, faktor apa saja yang memicu perilakunya, tetap menjalin komunikasi dengan anak dan jangan membiarkannya hidup dalam ketidakwajaran.

Namun Dra. Louis pun mengingatkan untuk tidak cepat-cepat memvonis seorang anak hiperaktif. “Tapi jangan salah tanggap juga, anak hiperaktif tidak selalu ADHD. Seorang anak TK umur 5 tahun yang memiliki kemampuan mental sama dengan anak umur 7 tahun, cerdas, aktif dan cepat respon tidak dapat divonis sebagai anak ADHD,” ujarnya.

“Yang penting orang tua maupun guru harus tahu apakah perilaku si anak sesuai atau tidak dengan standar usianya. Thomas Alfa Edison aja dianggap bodoh dan dikeluarkan dari sekolah oleh gurunya karena berperilaku aneh, namun justru dialah yang menemukan lampu,” tambahnya.

Banyak terapi yang dapat dilakukan untuk menangani anak-anak autis maupun ADHD, diantaranya terapi bicara, okupasi, sensori, diet makanan, floor time, dan lainnya. Namun yag paling penting adalah memberikan terapi sesuai
permasalahannya.

Salah satu cara kreatif yang coba diterapkan Dra. Louis untuk menangani anak ADHD adalah dengan membuat rekaman video. “Orang tua merekam perilaku si anak, kemudian memutarnya kembali untuk membuat si anak tertarik. Lewat video itu, si anak diajarkan perilaku mana yang baik dan mana yang tidak. Bakat, kepribadian dan emosinya pun dapat lebih terpantau. Terapi ini cukup berhasil membuat anak fokus sekaligus mengedukasi anak lewat media yang menarik,” ujarnya.

“Orang tua harus kenal dulu penyebabnya apa, dan jangan malu berkomunikasi dengan dokter. Tidak jarang orang tua yang merasa malu dengan keadaan anaknya sehingga membiarkannya begitu saja,” ucap wanita yang juga tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) tersebut.

Penanganan autis memang membutuhkan waktu yang lama, ada yang dapat sembuh dan ada juga yang sulit disembuhkan. “Salah satu pasien saya dapat kembali normal ketika sudah mencapai sarjana. Saya tahu dan melihat sendiri, dibalik kesembuhannya itu ada pengorbanan yang luar biasa dari orang tuanya,” ujar Dra. Louis.

“Setiap manusia pasti punya kekurangan, tapi jangan terpaku pada kekurangan itu, lihatlah kelebihannya,” demikian ucap Dra. Louis.

Cara berpikir para orang tua pun harus diubah, jangan melihat dari sisi negatifnya saja, tapi lihatlah keadaan tersebut sebagai ladang bagi mereka untuk lebih sabar dan ikhlas.

“Anak autis harus diterima apa adanya, hanya dengan mencintai, menghargai dan dorongan untuk terus belajar, ia akan merasa dicintai pula,” ucapnya.

Add a comment March 24, 2010

Gejala – gejala pada autisme

Gejala – gejala pada autisme mencakup ganggguan pada :
 1. gangguan pada bidang komunikasi verbal dan non verbal

• Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
• Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut sebagai bahasa planet
• Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
• Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
• Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian , nada , maupun kata – katanya tanpa mengerti artinya
• Kadang bicara monoton seperti robot
• Mimik muka datar
• Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat

 2. gangguan pada bidang interaksi sosial

• Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
• anak mengalami ketulian
• Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
• Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
• Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
• Bila didekati untuk bermain justru menjauh
• Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
• Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
• Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang tuanya

 3. gangguan pada bidang perilaku dan bermain

• Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang – ulang sampai berjam – jam
• Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
• Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu lama)atau sesuatu yang berputar
• Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
• Sering memperhatikan jari – jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak
• Perilaku ritualistik sering terjadi
• Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat – lompat, berputar – putar, memukul benda berulang – ulang
• Dapat juga anak terlalu diam

 4.gangguan pada bidang perasaan dan emosi

• Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya
• Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
• Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum) , terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif

 5. gangguan dalam persepsi sensoris

• Mencium – cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
• Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
• Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan
• Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu

Add a comment March 24, 2010

Pages

Categories

Links

Meta

Calendar

March 2010
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Posts by Month

Posts by Category